Hidupku
penuh dengan kesedihan – karena itu aku selalu mengembara. Aku selalu
berangkat, selalu pergi, selalu berada dalam perjalanan, menuju ke suatu tempat
entah di mana, namun kesedihanku tidak pernah hilang. Kesedihan, ternyata,
memang bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, karena kesedihan berada di dalam
diri kita. Aku selalu mengira kalau melakukan perjalanan jauh maka kesedihan
itu akan bisa hilang karena tertinggal jauh di belakang, tapi itu tidak pernah
terjadi. Ada segaris luka dalam hatiku yang telah mendorong aku pergi jauh dari
kampung halamanku dan sampai sekarang belum pernah kembali.
Mungkin aku tidak akan pernah kembali meskipun kesedihanku suatu
hari akan hilang. Aku sudah terlanjur tidak pernah merasa punya rumah, dan
tidak pernah merasa harus pulang ke mana pun dan aku menyukainya. Barangkali
kesedihanku tidak akan pernah hilang tapi sudahlah, aku tidak ingin memanjakan
perasaan. Aku sudah selalu membiasakan diriku hidup bersama dengan kesedihan –
apa salahnya dengan kesedihan? Apa salahnya dengan duka? Apa salahnya dengan
luka? Setelah mengembara bertahun-tahun lamanya aku belajar hidup bersama
dengan kesedihan, kesepian, dan keterasingan. Semua itu tidaklah mudah, tapi
apalah yang bisa diperbuat oleh seseorang dalam perantauan? Aku ini seorang
pengembara, cuma seorang musafir lata yang tiada bersanak dan tiada berkawan,
pergi dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan – sia-sia mencoba
menghilangkan kesedihan.