Pages

Saturday, June 30, 2012

Matahari Tidak Pernah Terbenam di Negeri Senja


Hidupku penuh dengan kesedihan – karena itu aku selalu mengembara. Aku selalu berangkat, selalu pergi, selalu berada dalam perjalanan, menuju ke suatu tempat entah di mana, namun kesedihanku tidak pernah hilang. Kesedihan, ternyata, memang bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, karena kesedihan berada di dalam diri kita. Aku selalu mengira kalau melakukan perjalanan jauh maka kesedihan itu akan bisa hilang karena tertinggal jauh di belakang, tapi itu tidak pernah terjadi. Ada segaris luka dalam hatiku yang telah mendorong aku pergi jauh dari kampung halamanku dan sampai sekarang belum pernah kembali.
Mungkin aku tidak akan pernah kembali meskipun kesedihanku suatu hari akan hilang. Aku sudah terlanjur tidak pernah merasa punya rumah, dan tidak pernah merasa harus pulang ke mana pun dan aku menyukainya. Barangkali kesedihanku tidak akan pernah hilang tapi sudahlah, aku tidak ingin memanjakan perasaan. Aku sudah selalu membiasakan diriku hidup bersama dengan kesedihan – apa salahnya dengan kesedihan? Apa salahnya dengan duka? Apa salahnya dengan luka? Setelah mengembara bertahun-tahun lamanya aku belajar hidup bersama dengan kesedihan, kesepian, dan keterasingan. Semua itu tidaklah mudah, tapi apalah yang bisa diperbuat oleh seseorang dalam perantauan? Aku ini seorang pengembara, cuma seorang musafir lata yang tiada bersanak dan tiada berkawan, pergi dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan – sia-sia mencoba menghilangkan kesedihan.

S A R M A N


Ceritakanlah padaku tentang kejenuhan,” kata Alina pada juru cerita itu. Maka Juru cerita itu pun bercerita tentang Sarman:
Pada suatu hari yang cerah, pada suatu hari gajian, Sarman membuat kejutan. Setelah menerima amplop berisi uang gaji dan beberapa tunjangan tambahan, dan setelah menorehkan paraf, sarman termenung-menung. Tak lama.
Ia segera berteriak dengan suara keras.
”Jadi, untuk ini aku bekerja setiap hari, ya? Untuk setumpuk kertas sialan ini, ya?!”
Ia berdiri dengan wajah tegang. Tangan kirinya mengenggam amplop, tangan kanannya menuding-nuding amplop itu, dan matanya menatap amplop itu dengan penuh rasa benci.
”Kamu memang bangsat! Kamu memang sialan! Kamu brengsek! Kamu persetan! Memble! Aku tidak sudi kamu perbudak! Aku menolak Kamu!”
Kantor yang sehari-harinya sibuk, sejuk, saling tak peduli, dengan musik yang lembut itu, pun mendadak jadi gempar.
”Lho ada apa Man? Kok pagi-pagi sudah nyap-nyap?”
”Eh, Sarman kenapa dia?”
”Jangan-jangan ia belum makan.”
”Kesurupan barangkali.”
”Man! Sarman! Sabar man! Nanti kamu dimarahi!”
Tapi Sarman tidak hanya berhenti disini. Ia melompat ke atas meja. Ia robek amplop cokelat itu. Ia keluarkan uang dari dalamnya. Ia robek bundel uangnya. Dan sebagian uangnya ia lemparkan ke udara.
”Nih! Makan itu duit! Mulai hari ini aku tidak perlu di gaji! Dengar tidak kalian!? Tidak perlu digaji! Aku akan bekerja suka rela, tetap rajin seperti biasa! Dengar tidak kalian monyet-monyet?!”
Berpuluh-puluh uang lembar Rp 10.000,- berguling-guling di udara dihembus angin AC. Kantor itu seperti dikocok-kocok. Para pegawai tanpa malu-malu berebutan uang gaji Sarman. Pria maupun wanita saling berdesak, bersikutan, dorong mendorong, berlompatan meraih rejeki yang melayang-layang diudara. Mereka cepat sekali memasukkan uang itu sekenanya dalam kantong bajunya. Lantas pura-pura tidak tahu.
Sarman menendang semua benda yang berserakan di mejanya, map-map yang bertumpuk, mesin tik, segelas the, bahkan foto keluarganya ia tending melayang. Layer monitor computer pun pecah digasaknya
“Sarman! Kamu gila!”
Sarman melompat dari meja ke meja denganr ingan seperti pendekar dalam cerita silat. Ia tendang semua barang-barang di atas meja karyawan-karyawan lain, sambil terus memaki-maki. Tak jelasa benar apa yang dimaki.
Dalam waktu singkat, kator yang terletak di tingkat 17 itu pun berantakan. Sekretaris-sekretaris wanita menjerit: ”Aaaa!” Dan para karyawan pria memperlihatkan jiwa pengecut mereka, tidak berani berbuat apa-apa. Meski dalam hati mengharap Sarman melempar-lempar lagi sisa uang yang dipegangnya. Dan Sarman bukannya tak tahu.
”Kalian mau uang? Ha? Kamu mau uang? Sukab! Kamu mau uang? Nih! Kamu mau uang? Nih! Kalian semua mau uang? Nih! Nih! Nih! Makan!”

Sunday, June 24, 2012

Saksi Mata

Saksi mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba  udara. Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.
Darah membasahi pipinya membasahi bajunya membasahi celananya, membasahi sepatunya dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dnegan karbol yang baunya bahkan masih tercium oleh para pengunjung yang kini menjadi gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap sementara para wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan dengan penuh gairah segera memotret Saksi Mata itu daris egala sudut sampai menungging-nungging sehingga lampu kilat yang berkeredap membuat suasana makin panas.            
“Terlalu!”           
“Edan!”          
“Sadis!”           
Bapak Hakim Yang Mulia, yang segera tersadar, mengetuk-ngetukkan palunya. dengan sisa wibawa yang masih ada ia mencoba menenangkan keadaan.           
“Tenang saudara-saudara! Tenang! Siapa yang mengganggu jalannya pengadilan akan saya usir keluar ruangan!”           
Syukurlah para hadirin bisa ditenangkan. Mereka juga ingin segera tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi.            

Senja di Kaca Spion


    Senja semburat dengan dahsyat di kaca spion. Sangat menyedihkan betapa di jalan tol aku harus melaju secepat kilat ke arah yang berlawanan. Di kaca spion, tengah, kanan, maupun kiri, tiga senja dengan seketika memberikan pemandangan langit yang semburat jingga, tentu jingga yang kemerah-merahan seperti api berkobar yang berkehendak membakar meski apalah yang mau dibakar selain menyepuh mega-mega menjadikannya bersemu jingga bagaikan kapas semarak yang menawan dan menyandera perasaan. Senja yang rawan, senja yang sendu, ketika tampak dari kaca spion ketika melaju di jalan tol hanya berarti harus kutinggalkan secepat kilat, suka tak suka, seperti kenangan yang berkelebat tanpa kesempatan untuk kembali menjadi impian.Aku dalam mobilku melaju ke depan dengan kecepatan tinggi, sangat tinggi, terlalu tinggi, sehingga awan hitam yang bergulung-gulung di hadapanku tampak menyergap dan menelanku dengan begitu cepat, begitu beda dengan awan gemawan senja di kaca spion yang semarak keemas emasan, gemilang tiada tertahankan, yang meski dengan pasti akan berubah menjadi malam yang kelam tampak bertahan tampak berkutat meraih keabadian dalam kefanaan. Di dalam satu dunia yang sama, mengapa suatu hal bisa begitu berbeda? Di belakangku senja terindah yang akan segera menghilang, di depanku hanya awan hitam bergulung mengerikan bagai janji sepenuhnya betapa dunia memang berpeluang mengalami bencana tak tertahankan.

    Di jalan tol, aku tak bisa berbalik bahkan tak juga bisa menoleh ke belakang. Aku hanya bisa melaju terus menerus melaju dan memang hanya melaju selaju-lajunya kelajuan dalam kecepatan yang terlaju ketika di hadapanku awan hitam yang bergulung-gulung itu bagaikan merendah dan bersiap menerkam meski dalam kenyataannya memang hanya di sana saja awan hitam itu bergulung-gulung dan terus bergulung-gulung sungguh begitu matang untuk setiap saat menggulung.

    Itulah yang membuat aku meluncur dengan perasaan rawan. Aku melaju di jalan tol dengan kecepatan tinggi bagaikan menuju ke sebuah dunia yang dengan pasti merupakan kegelapan sementara di kaca spion kusaksikan tiga senja dengan tiga matahari terbenam di ujung jalan tol di balik pegunungan yang menyemburatkan cahaya keemasan ke seantero langit seantero bumi memantik kesenduan memantik keharuan yang menenggelamkan perasaan dalam kedukaan yang mau tak mau harus ditahan.

Monday, June 11, 2012

Pengalaman Menulis Cerita Panjang


Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Novel, roman, atau apapun namanya, saya kira disebut prosa pun sahih—tetapi dalam pengertian prosa kita bisa memasukkan cerita pendek, sedangkan saya mau berbincang tentang cerita, atau mungkin lebih tepat naratif, yang panjang, cukup panjang, agak panjang, maupun panjang sekali. Bukan cerita pendek.
Secara akademis, dalam ilmu-ilmu susastra, tentu semua itu wajib ada penjelasannya: misalnya apa beda novel dan roman, yang ketika saya tengok sebentar saja ternyata jauh lebih rumit daripada sekadar penjelasan kamus[1].
Namun izinkanlah saya kini membebaskan diri dari kewajiban semacam itu, karena saya hanya akan berbagi pengalaman dalam menuliskan novel, roman, atau apapun namanya tersebut: pokoknya cerita yang lebih panjang dari cerpen—jadi ya cerita panjang.
***
Sebuah cerita menjadi panjang karena kebutuhan yang berbeda dari kebutuhan yang melahirkan cerita pendek. Di antaranya, karena yang diceritakan memang banyak, sehingga mau takmau akan menjadi panjang. Setidaknya lebih panjang daripada cerita pendek. Seperti pengalaman saya dengan cerita panjang saya yang pertama, ‘roman metropolitan’ Jazz, Parfum & Insiden (1996), yang terbentuk bukan dari kehendak dan tujuan ‘menulis roman’, melainkan –yang kemudian sering disebut sebagai—‘membocorkan’ fakta mengenai penindasan di Timor Timur, ketika media massa semasa Orde Baru takmungkin memuatnya tanpa suatu risiko tertentu.
Saya dengan berbagai cara memang telah mengungkapkan kembali fakta-fakta itu dalam bentuk cerpen, tetapi kebutuhan untuk menyampaikannya secara lebih tuntas ternyata telah membuat saya mengungkapkannya dalam bentuk cerita yang lebih panjang. Adapun cerita itu harus lebih panjang, bukan sekadar karena ketuntasan fakta itu secara kuantitatif memang ‘banyak’, tetapi juga karena dalam situasi saat itu justru ketuntasannya harus saya samarkan.
Memang paradoksal. Ketika di satu pihak saya berniat ‘membuka’, saya hanya
melakukannya dengan cara ‘menutupi’. Nah, usaha menyamarkannya itulah yang membuatnya tambah panjang saja ceritanya, karena bagian-bagian ‘pembocoran’ alias bab-bab Insiden itu sendiri (Laporan Insiden 1, 2, dst…) sudah delapan bab. Untuk membuatnya tidak terlalu ‘mengundang perhatian’ (paradoks lagi!), selain menggunakan ‘bahasa dagadu’, sehingga Dili tertulis sebagai Ningi, saya juga menyelang-nyelinginya dengan bab-bab Jazz (esai-esai tentang musik jazz) yang jumlahnya sampai enam bab, maupun bab-bab Parfum (Seorang Wanita dengan Parfum …. , dst.) yang banyaknya lima bab.

Cintaku Jauh di Komodo*


Hanya laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.
Aku mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya berani mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang hanya seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan cinta kami yang barangkali abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku?
Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir, namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak bisa berkelebat seenak udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru. Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama pula-betapa beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain, nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.

Rembulan dalam Cappuccino


Seminggu setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappuccino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya.
Cappuccino¹ dalam lautan berwarna coklat, datang langsung dari tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas pingpong-tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sebenarnya, seperti telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah mereka saksikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada.
Mereka bergumam, tapi tidak menjadi gempar, bahkan pura-pura seperti tidak terpengaruh sama sekali. Mereka kembali duduk, berbincang dengan bahasa yang beradab, namun diam-diam melirik, seperti kepalsuan yang telah biasa mereka peragakan selama ini. Para pelayan yang berbaju putih lengan panjang, mengenakan rompi, berdasi kupu-kupu, dan rambutnya tersisir rapi diam-diam juga memperhatikan. Semenjak kafe itu berdiri sepuluh tahun lalu, baru kali ini ada yang memesan Rembulan dalam Cappuccino. Kafe itu memang menyediakannya, dan minuman itu memang hanya bisa dipesan satu kali, karena rembulan memang hanya satu.
“Rembulan dalam Cappuccino, satu!” Teriak pelayan ke dapur, dan kepala bagian dapur memijit-mijit nomor hp, seolah-olah ada persiapan khusus.
“Akhirnya tiba juga pesanan ini,” katanya, “aku sudah bosan melihatnya di daftar menu tanpa pernah ada yang pesan.”
Kepala dapur itu bicara dengan entah siapa melalui hp.
“Iyalah, turunin aja, sudah tidak ada lagi yang membutuhkan rembulan.”
Perempuan itu bukan tidak tahu kalau orang-orang memperhatikannya. Apakah perempuan itu akan memakan rembulan itu, menyendoknya sedikit demi sedikit seperti menyendok es krim, ataukah akan menelannya begitu saja seperti Dewa Waktu menelan matahari?
Ia memperhatikan rembulan yang terapung-apung di cangkirnya, permukaan cappuccino masih dipenuhi busa putih, seperti pemandangan Kutub Utara-tapi cappuccino itu panas, bagaikan masih mendidih. Ia senang dengan penampakan itu, dingin tapi panas, panas tapi dingin, segala sesuatu tidak selalu seperti tampaknya.

Ibu yang Anaknya Diculik Itu


Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.
Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya.
”Tapi inilah soal yang pernah kubicarakan sama Si Saras. ’Kuhargai cintamu yang besar kepada Satria, sehingga kamu selalu terlibat urusan orang-orang hilang ini,’ kataku, ’tapi cinta adalah soal kata hati, Saras, karena kalau terlalu banyak alasan dan perhitungan dalam percintaan, nanti tidak ada tempat untuk hati lagi…’ Ah, Saras, memang rasanya ia seperti anakku juga. Semenjak Bapak meninggal setahun yang lalu, rasanya semakin peduli dia kepada rumah ini, membantu aku membereskan kamar Satria, seperti tahu betul rasa kehilanganku setelah ditinggal Bapak…”
Ibu sudah sampai ke kursi tempatnya duduk tadi, dan duduk lagi di situ. Ibu terdiam, melihat ke kursi tempat Bapak biasanya duduk. Lantas melihat ke sekeliling.
”Bapak… Kursi itu, meja itu, lukisan itu, ruangan ini, ruang dan waktu yang seperti ini, kok semuanya mengingatkan kembali kepada Bapak. Seperti ini juga keadaannya, bahkan aku masih ingat juga pakai daster ini ketika kami berbicara tentang hilangnya Satria. Waktu itu sudah setahun Satria tidak kembali, dan kami masih seperti orang menunggu. Aku waktu itu masih percaya Satria suatu hari akan kembali… Kenapa harus tidak percaya, kalau memang tidak pernah kulihat sesuatu yang membuktikan betapa Satria tidak akan kembali… Apa salahnya punya harapan… Hidup begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja kita tidak punya…
”Jadi dalam setahun itu harapanlah yang membuatku bertahan hidup. Harapan bahwa pada suatu hari Satria pasti pulang kembali… Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Tapi Bapak memaksa aku untuk percaya bahwa Satria sudah pergi. ’Satria sudah mati,’ katanya!”

Pring Re-ke-teg Gunung Gamping Ambrol


Ribuan orang baik-baik telah berkumpul di atas bukit, siap menyerbu perkampungan para pencuri, perampok, pembunuh, dan pelacur, yang terletak di tepi sebuah sungai yang mengalir dan berkelok dengan tenang, begitu tenang, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih tenang, yang memantulkan cahaya kemerah-merahan membara di langit meskipun matahari sudah terbenam.
Ribuan, barangkali lebih dari sepuluh ribu, sebut saja beribu-ribu orang baik-baik telah siap dengan segenap senjata tajam, parang-golok-kelewang, tombak, linggis, pentungan besi, rantai, alu, kayu, maupun badik yang lekuk liku dan geriginya jelas dibuat agar ketika ditusukkan mampu menembus perut dengan mulus, dan ketika ditarik keluar membawa serta seluruh isi perut itu tanpa dapat dibatalkan.
Beribu-ribu orang baik-baik, tiada satu pun tiada membawa senjata, tampak sangat amat siap menggebuk dan menyabet, mencincang dan membantai, memenggal dan menyembelih, bagai tiada tujuan lain dalam hidup ini selain melakukan pembunuhan dan tiada lain selain pembunuhan. Orang baik-baik yang sebelumnya tampak sebagai orang-orang yang selalu ketakutan, karena memang penakut dan pengecut jika sendirian, mendadak bagai kerasukan setan ketika melebur dalam jumlah ribuan.
Terdengar dentang parang saling diadukan seperti tiada sabar lagi untuk ditetakkan, suara kelewang diasah pada batu basah demi jaminan betapa darah pasti akan tersemburkan, semua orang sibuk dengan alat-alat pembunuhan, senjata tajam maupun senjata tumpul, yang telah disahihkan untuk memberlangsungkan pembinasaan.
Sebentar lagi, tepat pada saat hari menjadi gelap, telah disepakati menjadi waktu penyerbuan.
”Jika mereka masih tidak mau menyerahkan pemerkosa itu,” kata seseorang sambil mengacungkan pentungan, “perkampungan itu harus dibakar.”
Disebutkan betapa anak perempuan Pak Carik telah diperkosa. Ia ditemukan terkapar di jalan keluar desa setelah hilang semalaman. Para penggali kapur yang berangkat pada pagi hari berembun segera membawanya kembali ke desa, yang segera saja menjadi gempar. Mirah, kembang desa sederhana, tetapi yang justru karena itu layak dipuja, telah dihinakan begitu rupa sehingga nyaris tak bisa menangis dan tak bisa berbicara.
“Siapa mereka, Mirah? Siapa?”
Pak Lurah yang berkumis melintang tampak begitu berang, bertanya terus sambil memaksa, karena baginya penghinaan ini bukanlah hanya penistaan kepada seorang perawan umur 16 tahun yang diperkosa, melainkan juga penghinaan kepada desa. Pak Carik sendiri, ayah dari korban yang tak bisa bersuara, kaku beku membisu seribu bahasa.
“Katakan Mirah, katakan! Supaya aku tidak membunuh sembarang manusia!”
Wajah Mirah sulit diceritakan, karena perasaan yang terbayang di wajahnya pun mustahil diterjemahkan. Namun cerita para penggali kapur tentang kain dan kebayanya yang koyak moyak dan centang perenang, tanpa harus bernoda darah segala, bagi orang-orang desa itu sudah lebih dari segala pengungkapan.
Sebetulnya belum jelas bagaimana Mirah bisa ditemukan terkapar pada pagi hari di tempat itu. Di desa terpencil seperti itu, anak gadis seperti Mirah pasti sudah berada di dalam rumah pada pukul enam sore. Untuk berada di sana, seseorang atau beberapa orang, harus menculiknya—dan pikiran semua orang memang Mirah itu pasti diculik, diperkosa di tengah jalan itu, lantas dibuang…
Tepatnya lebih baik begitu, supaya terdapat pihak yang bisa diganyang.

Karangan Bunga dari Menteri


Belum pernah Siti begitu empet seperti hari ini.
”Pokoknya gue empet ngerti nggak? Empeeeeeeet banget!”
”Kenape emang?” Tanya Ira, sohibnya.
”Empeeeeeeeeeetttt banget!!”
Ah elu! Empat-empet-empat-empet aje dari tadi! Empet kenape Sit?”
Di tengah pesta nikah putrinya, di gedung pertemuan termewah di Jakarta, Siti merasa perutnya mual. Tadi pun belum-belum ia sudah tampak seperti mau muntah di wastafel.
”Emang elu bunting Sit?” Ira main ceplos aje ketika melihatnya.
”Bunting pale lu botak! Gue ude limapulu, tau?”
”Yeeeeeee! Mane tau elu termasuk keajaiban dunie!”
Usia 50, hmm, 25 tahun perkawinan, seperti baru sekarang ia mengenal sisi yang membuatnya bikin muntah dari suaminya.
”Bikin muntah?”
”Yo-i! Bikin muntah….
Hueeeeeekkk!”
Perutnya mual, begitu mual, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih mual. Meski sebegitu jauh tiada sesuatu pun yang bisa dimuntahkannya.
”Bagaimana tidak bikin muntah coba!”
”Nah! Pegimane?”
***
Waktu masih SMU, Siti pernah diajari caranya menulis naskah sandiwara dalam eks-kul, jadi sedikit-sedikit ia bisa menggambarkan adegan di kantor seorang menteri seperti berikut.

Gerobak


Kira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan muncul di berbagai sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-tahun belakangan ini. Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di depan. Hanya saja gerobak ini ternyata berisi manusia. Dari balik dinding gerobak berwarna putih itu akan tampak sejumlah kepala yang menumpang gerobak tersebut, biasanya seorang ibu dengan dua atau tiga anak yang masih kecil, dengan seorang bapak bertenaga kuat yang menjadi penghela gerobak tersebut.
Karena tidak pernah betul-betul mengamati, aku hanya melihat gerobak-gerobak itu selintas pintas, ketika sedang berjalan merayapi berbagai sudut kota. Dari mana dan mau ke mana? Aku tidak pernah berada di batas kota dan melihat gerobak-gerobak itu masuk kota. Mereka seperti tiba-tiba saja sudah berada di dalam kota, kadang terlihat berhenti di berbagai tanah lapang, memasang tenda plastik, menggelar tikar, dan tidur-tiduran dengan santai. Tidak ketinggalan menanak air dengan kayu bakar dan masak seperlunya. Apabila tanah lapang sudah penuh, mereka menginap di kaki lima, dengan plastik menutup gerobak dan mereka tidur di dalamnya. Tidak jarang mereka memasang juga tenda di depan rumah-rumah gedung bertingkat. Salah satu dari gerobak itu berhenti pula di depan rumah gedung kakekku.
“Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari manakah mereka datang?”
Kakek menjawab sambil menghela napas.
“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan.”
“Negeri Kemiskinan?”
“Ya, mereka datang untuk mengemis.”
Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di samping menjadi pejabat tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah membagi pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia tangani sendiri. Dari jendela loteng, kuamati orang-orang di dalam gerobak itu. Anak-anak kecil itu tampaknya seusiaku. Namun kalau aku setiap hari disibukkan oleh tugas-tugas sekolah, anak-anak itu pekerjaannya hanya bermain-main saja. Kadang-kadang aku ingin sekali ikut bermain dengan anak-anak itu, tetapi Kakek tentu saja melarangku.
“Jangan sekali-sekali mendekati kere-kere itu,” kata Kakek, “kita tidak pernah tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita.”
“Apa yang mereka pikirkan Kek?”
“Coba saja kamu setiap hari hidup di dalam gerobak di luar sana. Apa yang akan kamu pikir jika dari kegelapan melihat lampu-lampu kristal di balik jendela, dalam kerumunan nyamuk yang berdenging-denging melihat anak kecil berbaju bersih makan es buah dan pudding warna-warni waktu berbuka puasa?”
Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku? Ataukah setidaknya mereka akan melompat masuk jendela dan merampas makanan enak-enak untuk berbuka puasa ini? Aku memang selalu mendapat peringatan dari orangtuaku untuk hati-hati, bahkan sebaiknya menjauhi orang yang tidak dikenal. Memang mereka tidak pernah menyebutkan kata-kata semacam, “Hati-hati terhadap orang miskin,” atau “Orang miskin itu jahat,” tetapi kewaspadaan Ibu memang akan selalu meningkat dan segera menggandeng tanganku erat-erat apabila didekati orang-orang yang berbaju compang-camping dan sudah tidak jelas warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan mereka yang sudah jebol tepinya, memang selalu kulihat mata yang menatap, tetapi tak bisa kuketahui apa yang dikatakan mata itu.
Sekarang aku tahu gerobak-gerobak berwarna putih itu datang dari Negeri Kemiskinan. Di mana tempatnya, Kakek tidak pernah menjelaskan, tetapi kurasa tentunya dekat-dekat saja, karena bukankah gerobak itu dihela oleh orang yang berjalan kaki? Demikianlah gerobak-gerobak itu dari hari ke hari makin banyak saja tampaknya. Benarkah, seperti kata Kakek, mereka datang untuk mengemis? Aku tidak pernah melihat mereka mengulurkan tangan di depan rumah- rumah orang untuk mengemis. Juga tidak kulihat mereka menengadahkan tangan di tepi jalan dengan batok kelapa atau piring seng di depannya. Jadi kapan mereka mengemis?

Sunday, June 10, 2012

Mayat yang Mengambang di Danau

Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.
Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.
Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu tua dan agak kabur jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang kali ini tampaknya masih akan bertahan cukup lama, karena langit mendung dan mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam air, tanpa harus melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam dan memburu ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan, memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri.
Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu mudah ditombak.
Namun Barnabas juga tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung seperti kayu, menyelam seperti pemberat—dan sekali tangannya bergerak, memang harus melesatkan tombaknya lebih cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan, betapa ikan dalam rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang sendirian, mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar bahaya mengancam.
Ikan yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa kentara memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak.
Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap jika dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei, besarnya bisa sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap digoreng, tetapi Barnabas beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya, karena memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang diburunya itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya dua puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, tak penting benar berapa lama, karena Barnabas setiap harinya menyelam jua—kecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah.
Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari ini?
Bukanlah karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apa pun selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang tak habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka memasang bubu dan tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di pulau-pulau di dalam danau, karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang jala juga bukanlah berburu, sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan tiada lain selain berburu ikan seperti yang selama ini dianggapnya sebagai panggilan.
Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi pemburu ikan.
Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tidak seperti air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan mata penyelam tak harus menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama?
Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama dengan sekarang.
Dulu tidak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena perahu bolotu tidak bermesin tempel. Dari pulau ke pulau, atau dari pulau ke daratan, orang-orang menggunakan bolotu yang hanya perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan penumpang pun, perjalanan dari pulau kecil yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau yang dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah lambat karena memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi bersenyawa tanpa peduli detak arloji—dan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit maupun bagian bumi daripada arloji.
Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit memang gelapnya agak lebih lama karena mendung dan hujan dan tentu saja ini harus dianggap biasa saja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas sama sekali tiada keberatan karenanya.
Aku sabar menunggumu ikan, batinnya, setiap orang harus cukup bersabar menantikan makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama? Nikmatilah hidupmu yang amat sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan membawamu ke pasar dan pedagang ikan akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi santapan para wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi rebutan ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka juga segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan dilempar sebagai pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan selera makan.
Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yang putus sekolah teologia, pernah mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya.
”Homo homini lupus….”
Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak melanjutkan sekolah untuk menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji.
Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada suatu hari tiba-tiba saja muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan sekolah di kota untuk selama-lamanya.
”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….”
Selama tinggal di rumah mereka, tempat kecipak air danau selalu terdengar dari bawah lantai papan dari malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal karena cacing pita dan mereka hanya hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota, atas restu pendeta, untuk belajar menjadi pendeta.
”Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara,” katanya, ”benarkah sudah cukup kita hanya berdoa?”
Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada rendah tentang penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen pernah membacakan pesan pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk bicara.
Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan. Mereka adalah (self-censorship oleh pengarang) yang menyamar sebagai pasukan sagangrod Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan sagangrod ini, senjatanya yang beda. Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik….
Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi tebing serba terjal dan meliuk berteluk-teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan tidak butuh apa pun yang lain selain cakrawala negeri danaunya itu, yang telah memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-bukit menghijau, dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan yang baginya merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap tahun, itu semua sudah lebih dari apa pun yang bisa dimintanya.
Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan ini, bahwa pendeta yang tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi.
***
Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu karena tirai hujan dengan latar belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan.
Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali belum berkurang. Ia bisa membawa ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh atau lima belas pun tidak ada yang harus disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yang ditombaknya cukup besar—dan ikan-ikan terbesar suka menyendiri—maka seekor atau dua ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan yang biasa.
Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini tampaknya belum ada yang akan mati. Setidaknya di dekat permukaan ini.
Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam, ke tempat ikan besar biasanya menyendiri.
Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini, yang memisahkan dirinya secara alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun dari jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara penjala dan pemasang bubu, dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam, hanyalah Barnabas yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekah—jelas membuatnya berbeda, keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak dimengertinya pula dari gagasan-gagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang pernyataan untuk merdeka….
Manusia kadang masih seperti ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman dengan golongan sejenisnya.
Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya. Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di bagian danau terdalam. Sedangkan ikan lohan yang juga asing di danau itu, tak hanya memakan telur-telur ikan gabus, anak-anak ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain, tetapi juga udang dan jengkerik . Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan gastor, ikan gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dalam jumlah sedang; yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, tetapi ikan kehilo semakin susah dicari, mungkin karena makin jauh bersembunyi, mungkin juga memang tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu benar, dahulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, termasuk ikan laut yang masuk dari muara sungai di sebelah timur, dan sekarang hanya enam belas jenis, itu pun tinggal sembilan jenis yang asli.
Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri.
Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang ada orang datang bertanya-tanya tentang Klemen—bukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu yang digunakan Klemen juga masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu mendadak terdengar deru perahu Johnson di kejauhan pada tengah malam. Penduduk yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka yang terbiasa menyendiri memang harus menghadapi segala sesuatunya sendirian.
Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yang segera saja menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apa pun. Cahaya yang sejak pagi tidak pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan, di dasar danau ini tak dapat juga memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas.
Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan sesuatu datang dari dasar danau dan ia segera menghindarinya. Tak urung, sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan khahabei itu telah melepaskan keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau, menyentuh tubuhnya juga dalam perjalanan ke permukaan danau.
Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur, melesat dan menyusul sesuatu yang segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari balik kacamata selamnya yang buram, matanya terpaku kepada sosok itu, yang perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di permukaan danau. Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau, meskipun tidak terlalu jelas, Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal dengan kain merah.
Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas. Angin keras menyapu seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yang turun dari langit tersibak bagaikan tirai raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dari tengah danau.
”Klemeeeeeeeennnn!”
Jayapura, 12-14 November 2011

*)cerpen Kompas, 8 Januari 2012