Pages

Monday, June 11, 2012

Pengalaman Menulis Cerita Panjang


Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Novel, roman, atau apapun namanya, saya kira disebut prosa pun sahih—tetapi dalam pengertian prosa kita bisa memasukkan cerita pendek, sedangkan saya mau berbincang tentang cerita, atau mungkin lebih tepat naratif, yang panjang, cukup panjang, agak panjang, maupun panjang sekali. Bukan cerita pendek.
Secara akademis, dalam ilmu-ilmu susastra, tentu semua itu wajib ada penjelasannya: misalnya apa beda novel dan roman, yang ketika saya tengok sebentar saja ternyata jauh lebih rumit daripada sekadar penjelasan kamus[1].
Namun izinkanlah saya kini membebaskan diri dari kewajiban semacam itu, karena saya hanya akan berbagi pengalaman dalam menuliskan novel, roman, atau apapun namanya tersebut: pokoknya cerita yang lebih panjang dari cerpen—jadi ya cerita panjang.
***
Sebuah cerita menjadi panjang karena kebutuhan yang berbeda dari kebutuhan yang melahirkan cerita pendek. Di antaranya, karena yang diceritakan memang banyak, sehingga mau takmau akan menjadi panjang. Setidaknya lebih panjang daripada cerita pendek. Seperti pengalaman saya dengan cerita panjang saya yang pertama, ‘roman metropolitan’ Jazz, Parfum & Insiden (1996), yang terbentuk bukan dari kehendak dan tujuan ‘menulis roman’, melainkan –yang kemudian sering disebut sebagai—‘membocorkan’ fakta mengenai penindasan di Timor Timur, ketika media massa semasa Orde Baru takmungkin memuatnya tanpa suatu risiko tertentu.
Saya dengan berbagai cara memang telah mengungkapkan kembali fakta-fakta itu dalam bentuk cerpen, tetapi kebutuhan untuk menyampaikannya secara lebih tuntas ternyata telah membuat saya mengungkapkannya dalam bentuk cerita yang lebih panjang. Adapun cerita itu harus lebih panjang, bukan sekadar karena ketuntasan fakta itu secara kuantitatif memang ‘banyak’, tetapi juga karena dalam situasi saat itu justru ketuntasannya harus saya samarkan.
Memang paradoksal. Ketika di satu pihak saya berniat ‘membuka’, saya hanya
melakukannya dengan cara ‘menutupi’. Nah, usaha menyamarkannya itulah yang membuatnya tambah panjang saja ceritanya, karena bagian-bagian ‘pembocoran’ alias bab-bab Insiden itu sendiri (Laporan Insiden 1, 2, dst…) sudah delapan bab. Untuk membuatnya tidak terlalu ‘mengundang perhatian’ (paradoks lagi!), selain menggunakan ‘bahasa dagadu’, sehingga Dili tertulis sebagai Ningi, saya juga menyelang-nyelinginya dengan bab-bab Jazz (esai-esai tentang musik jazz) yang jumlahnya sampai enam bab, maupun bab-bab Parfum (Seorang Wanita dengan Parfum …. , dst.) yang banyaknya lima bab.

Dengan demikian terbentuk ‘komposisi’ bab-bab Jazz, Parfum & Insiden, tetapi yang dalam proses penggabungannya sebagai cerita panjang Jazz, Parfum & Insiden kesatuannya (baca: kekompakan berselang-selingnya) justru saya pecahkan lagi dengan bab-bab yang takmenjadi bagian ketiganya (tentang kewartawanan, orientasi seksual, dan gerakan bawahtanah) sampai empat bab. Sudah berapa bab? Hitung saja sendiri. Itu pun masih ditambah bab-bab ‘klasik’ seperti Prolog dan Epilog. Kiranya dari segi panjang tulisan sudah ‘pantas’ disebut novel atau roman, yang saat itu secara teoretis bin akademik tidak saya ketahui apa rumusannya—tetapi jika kemudian saya sebut ‘roman metropolitan’, maka itu sekadar untuk memberi flavor atawa aroma peradaban kota, dengan segenap keterpecahannya: bahwa sang narator, tokoh ‘aku’ yang
menceritakan dan karena itu menyatukan segenap bab, mengalami segalanya (jazz di telinga, kenangan di kepala, laporan jurnalistik di depan mata) dalam waktu yang sama, sekaligus dan seketika.
Dengan kata lain, meski sebagai proses naratif yang diceritakan itu sesuatu yang ‘pendek’, tapi menuliskannya kembali terpaksa cukup panjang. Saya pernah
menuliskan: pencapaian estetik dilahirkan oleh pengalaman yang konkret—keindahan dicapai bukan dengan mengotak-atik bahasa, melainkan dari pergumulan yang total terhadap hidup.[2] Tampaknya pendapat saya itu masih bisa berlaku dalam kasus Jazz, Parfum & Insiden ini, bahwa ‘menulis novel’ bukanlah soalnya, melainkan bahwa kebutuhan saya dalam situasi yang melahirkannya memang—dengan kondisi saya—hanya bisa diterjemahkan dalam komposisi seperti yang telah menjadi cerita sepanjang itu. Penamaan novel atau roman hanyalah memenuhi keperluan praktis, bahwa ‘barang’ yang saya sebut cerita panjang ini tidak lazim beredar sebagai ‘makhluk’ takjelas. Namun mengapa roman, dan bukan novel? Terus terang, saya tidak punya argumen ilmiah, selain ‘intuisi’ bahwa istilah roman lebih menjanjikan isi buku seperti yang saya maksud daripada istilah novel.
Dari catatan atas cerita panjang saya yang pertama kali terbit ini, saya garis
bawahi kata kunci: komposisi – untuk diperbincangkan lagi nanti.
***
Cerita panjang saya yang kedua, Kitab Omong Kosong, semula berjudul Rama-Sinta: Pertempuran Cinta, mulai dimuat Koran Tempo sejak 2 April dan baru berakhir 6 Oktober 2001, mendapatkan bentuknya karena ‘pergulatan dengan hidup’ itu juga.
Alkisah, seorang kawan yang menjadi penerbit, pada akhir tahun ’90-an mengundang saya ke Yogya untuk menonton pertunjukan wayang orang di Pura Wisata. Ia membayangkan, alangkah bagusnya jika penonton yang membeli tiket wayang orang akan mendapatkan juga teks tertulis cerita wayang tersebut, dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia, semacam buku kecil, yang ditulis dengan suatu gaya—dan karena itu harganya layak ditambahkan pada harga tiket.
Saya baru bisa memenuhi permintaan ini pada tahun 2000, mengambil cerita Ramayana, mula-mula ‘stel kendo’, karena memang maksudnya hanya membuat semacam ‘brosur’ untuk pertunjukan wayang orang. Namun kesadaran untuk ‘bergaya’ membuat saya takbisa menulis hanya sekadar sinopsis—maka Ramayana ini pun (1) saya mulai ‘dari tengah’: ketika dimulai kisah penyerbuan Alengka sudah selesai dan Rahwana sudah tertawan, sedangkan Rama justru tampil sebagai sang angkara murka, dengan ekspansinya ke seluruh India, karena bagian ini yang paling kurang dikenal; (2) saya libatkan ‘rakyat kecil’ yang dalam Ramayana hanyalah orang banyak tanpa nama.
Maka ‘brosur tujuh bab’ saya selesaikan tahun 2000, yang pada dasarnya kronologis saja, hanya cara berceritanya yang ‘bergaya’—sering bersanjak (memperhatikan efek bunyi), juga bersajak, menyelingi dengan ‘suluk’ (biasa saya lakukan 15 tahun sebelumnya dalam penulisan cerita-cerita wayang di majalah Zaman), bahkan menyertakan terjemahan Haryati Soebadio atas Jnanasiddhanta untuk memberikan ‘rasa asli’ budaya lokal, yang untuk memahami dan memolesnya sungguh merupakan tantangan tersendiri.
Cerita ini belum terbit ketika tahun 2001 seorang redaktur Koran Tempo menanyakan apakah saya punya ‘stok’ naskah untuk cerita bersambung. Saya sampaikan, hanya Rama-Sinta: Pertempuran Cinta itulah yang saya punya, dan meskipun tujuh bab tergolong pendek untuk cerita bersambung, ternyata tetap dimuat bersama terbitnya koran tersebut untuk pertama kalinya. Menjelang berakhir pada bulan Mei, saya belum berpikir untuk menyambungnya. Namun ternyata dalam benak seorang pembaca yang sampai kepada saya, dikiranya cerita ini akan bersambung panjang sekali, hanya untuk sebuah lelucon bahwa saya akan menerima banyak uang.
Tentu bukan uang inilah yang membuat saya lantas menyambungnya, melainkan karena dugaan ‘panjang sekali’ ini membuat saya berpikir, “Ya, kenapa saya tidak menyambungnya sampai ‘panjang sekali’ seperti harapan banyak orang?” Maka tujuh bab pertama itu pun saya jadikanlah sebagai Bagian Pertama; dan saya memasuki Bagian Kedua bukan sebagai sambungan, tetapi ‘pindah dimensi’, ketika kuda yang berlari sebagai pembuka dan penutup Bagian Pertama, ternyata kembali menjadi gambar rajah kuda di punggung seorang pelacur, sosok rakyat kecil yang akan saya beri peran mempertanyakan kodrat peranannya itu kepada sang pengarang Ramayana, yakni Walmiki.
Sejak Bagian Pertama, memang Walmiki sebagai pengarang Ramayana sudah ‘keluar masuk’ cerita, sesuai versi komik R. A. Kosasih yang untuk pertama kalinya saya rujuk. Sementara saya mengembangkan cerita saya sendiri, saya selang-selingkan pula alur itu dengan cerita Ramayana yang masih tersisa, kadang dengan setia tapi lebih sering mendudukkannya dengan penulisan ulang secara kritis, jelas banyak pula main-mainnya, seperti Hanoman yang memimpin Konser Empat Musim sambil terbang di atas danau, yang masih saya selang-selingkan lagi dengan cerita-cerita ‘lokal’ seperti Jataka-Mala, Siwaratrikalpa, dan Bubukshah & Gagang Aking—sesuai dengan gagasan yang muncul ketika saya membaca judul Parwasagara sebagai karya Prapanca yang tidak pernah ditemukan[3], dan ternyata artinya adalah Samudera Cerita[4].
Judul Samudera Cerita itulah yang telah menyemangati saya. Saya berpikir, jika karya itu takditemukan, biarlah saya tuliskan saja, yakni mengisi cerita ini dengan banyak-banyak cerita! J Maka di sampul belakang buku saya tuliskan: Inilah kisah Satya dan Maneka, rakyat yang menjadi korban, yang menjelajah dalam pencarian Walmiki penulis Ramayana, sembari berlayar di samudera cerita.
Pada Bagian Ketiga, keberselang-selingan ini pada alur Satya dan Maneka (selain alur Walmiki dan alur sisa cerita Ramayana) saya beri beban perbincangan filsafat yang terujukkan kepada judul Kitab Omong Kosong. Di bagian ini, yang tadinya ‘stel kendo’ tentu sudah menjadi ‘stel kenceng’, meski gaya ‘menghibur’-nya tetap berusaha saya pertahankan.
Bagaimana cerita ini berakhir? Pembaca tentu berhak mempertimbangkan keberakhirannya dalam konteks keseluruhan struktur, tetapi proses menuju akhirnya taklebih dan takkurang karena saya ketika sedang berada di Victoria, B.C., Kanada, merasa ‘terganggu’ dengan kewajiban menuliskan cerita bersambung ini dari hari ke hari, ketika harus memusatkan perhatian kepada urusan lain, di samping redaktur Koran Tempo tersebut juga menyampaikan, “Teman-teman bertanya kapan selesainya.”—maka cepat-cepat saya tamatkan saja, tentu tetap dengan tanggungjawab atas kepantasannya dalam konteks keseluruhan cerita.
Jadi Kitab Omong Kosong terbentuk oleh berbagai kebutuhan berbeda-beda yang taksepenuhnya by design atau telah direncanakan, sehingga mencapai bentuk seperti yang bisa dibaca. Bahkan cetak ulangnya terpaksa menjadi Edisi Kedua pula, karena saya menyertakan sedikit tambahan cerita yang saya lupakan pada Edisi Pertama. Demikianlah bagaimana pengalaman konkret dan pergulatan dengan hidup berperan langsung kepada suatu bentuk cerita panjang. Mengingat apa yang sudah tertulis, maka sekali lagi kita
mendapati kata kunci komposisi, dalam hal ini komposisi berbagai macam alur
dari dalam maupun dari luar Ramayana.
***
Perbincangan tentang cerita panjang saya ketiga, Negeri Senja, terpaksa saya lompati, karena bukunya tidak ada di depan saya, dan langsung saja menuju cerita panjang saya keempat yang kasusnya lebih menarik, yakni Biola Tak Berdawai.
Cerita ini memang merupakan proyek kerjasama ‘novelisasi’, dengan sumber skenario maupun film tersebut melalui DVD. Setelah saya baca skenario dan tonton film karya Sekar Ayu Asmara tersebut, saya perkirakan bahwa dengan segala kesetiaan saya kepada keduanya, jika hanya berpegang kepada alur, saya hanya akan mampu menulis cerita sepanjang 30 halaman saja.
Maka untuk membuatnya lebih panjang, saya gunakan lagi ‘jurus komposisi’, yakni menggunakan lebih dari satu alur untuk bercerita, seperti berikut: (1) alur sudut pandang Dewa, yang dalam film tidak pernah berbicara sama sekali, sebagai narator yang berbicara tentang pikirannya sendiri; (2) alur Mahabharata, yang diceritakan oleh narator takkelihatan, yang peluangnya memang diberikan oleh suatu adegan dalam film Biola Tak Berdawai, ketika gambar memperlihatkan komik wayang Mahabharata karya R. A. Kosasih, tetapi yang antara gambar komik dan dialog tokohnya tidak berhubungan; (3) alur Biola Tak Berdawai yang “asli” dari skenario dan film, yang menyatu dalam penceritaan dari sudut pandang Dewa. Dengan kata lain, alur yang pertama ini memang melebur dengan yang ketiga. Dengan ‘modal’ ini, saya kira cukuplah untuk menjadi sebuah cerita panjang.
Tidak ada komposisi antar alur yang istimewa di sini, karena komposisi yang dimaksud adalah permainan sudut pandang, yakni antara sudut pandang Dewa dan sudut pandang ‘dalang’ yang menceritakan kembali Mahabharata. Namun perlu diketahui betapa bukan hanya masalah panjang yang kurang itulah pembentuk komposisi tersebut, melainkan juga fakta bahwa saya menghadapi dua golongan calon pembaca, yakni yang sudah maupun yang belum menonton filmnya—dan saya tidak ingin mengorbankan salah satu. Di satu pihak ini dilematis, di lain pihak menantang kreativitas, karena ketika saya mewajibkan diri untuk setia, maka tingkat kesulitan untuk tetap kreatif menjadi lebih
tinggi.
Alur cerita Mahabharata itu misalnya, di satu pihak berguna untuk ‘nebel-nebelin’ buku, tetapi penceritaannya menurut saya bukan hanya relevan, melainkan juga urgen, mengingat tiadanya jaminan bahwa baik penonton maupun calon pembacanya mengetahui dan mengerti cerita itu, padahal nama-nama seperti Drupadi, Gandari, dan Bhisma disebut dalam konteks Mahabharata—kenapa pula tidak saya sediakan teksnya, agar alurnya menjadi materi intertekstual dan saling beresonansi dengan alur di dalam kepala Dewa sang anak tunadaksa?
Begitulah, bagi yang sudah menonton filmnya (dan jika membaca bukunya juga, berarti menyukainya) saya merasa harus memberi jaminan, bahwa saya tidak akan menyimpangkan alur yang sudah terdapat sebagai naratif Biola Tak Berdawai; sedangkan bagi yang belum menonton filmnya, saya harus menjamin diri saya sendiri bahwa naratif yang akan mereka baca ini tanpa teracu kepada filmnya pun mandiri sebagai karya yang utuh, tanpa harus mengkhianati filmnya. Menulis dengan kesadaran menghadapi dua golongan pembaca sekaligus seperti itu, bagi saya terasa sebagai tingkat kesulitan tertentu—meski usaha mencari jalan keluarnya (‘pengalaman konkret dan pergumulan total’) justru memberikan bentuk cerita panjang itu sendiri.
***
Perbincangan terakhir adalah mengenai ‘novel’ Kalatidha, bukan hanya karena cerita panjang saya yang lain, Nagabumi, masih jauh dari selesai,
melainkan karena permainan komposisi ternyata juga merupakan persoalan
sekaligus cara mengatasinya.
Siapapun yang sudah pernah memegang bukunya, akan membaca tulisan: berdasarkan ide cerita Nugroho Suksmanto. Seberapa jauh dan seberapa dekat ‘ide cerita’-nya? Baiklah saya ceritakan saja bahwa Mas Nug, begitu saya memanggilnya, memang meminta saya menuliskan sejumlah gagasan yang—menurut pengakuannya—takbisa diceritakannya sendiri. Semula saya memang tidak tertarik, dan ketika bertemu saya sudah siap dengan sejumlah nama yang saya tahu biasa menerima tugas seperti itu. Namun setelah mendengar ceritanya secara lisan saya terpukau—artinya ‘ide cerita’ itu bagi saya memang menarik, sehingga justru meletikkan kehendak untuk menuliskannya. Meskipun begitu, memang berbagai macam naratif itu memang terpecah-pecah dan tidak saling berhubungan dalam suatu alur yang mulai dan selesai dengan utuh.
Masalahnya, untungnya, saya sudah lama tidak peduli dengan ‘mitos’ bahwa yang baik adalah yang utuh. Dalam suatu diskusi tentang Jazz, Parfum & Insiden pada tahun 1998, seorang penulis bertanya apakah pada masa depan saya akan membuat sebuah novel yang ‘biasa’ J. Mungkin maksudnya yang ‘utuh’ tersebut, yang ngibul dan meyakinkan seolah-olah seperti sungguh-sungguh terjadi. Dengan kata lain dalam genre realisme. Tentu saja saya tidak tahu, tetapi barangkali saya seharusnya menjawab, “Tidak perlu.” Bagi saya, bahkan realisme itu sendiri sebetulnya bisa hadir dengan banyak cara, dan cara-caranya tidaklah harus selalu dengan cara-cara yang ‘biasa’ dong.
Ide cerita Mas Nug memang tidak merupakan satu cerita yang utuh. Sejauh saya ingat (dan saya menyesal telah menghilangkan coretan-coretan yang saya buat sambil mendengarkannya, yang sebetulnya bisa saya tunjukkan sekarang) cerita-cerita itu adalah, secara tidak kronologis: (1) tentang sejumlah tahanan politik, yang ketika dibebaskan pada 1979 di stasiun Senen tidak ada penjemputnya, dengan kisah mereka masing-masing; (2) tentang seorang anggota Pemuda Rakyat yang ketika dikejar untuk diciduk, masuk ke sebuah kelas Sekolah Dasar; (3) tentang pembakaran sebuah rumah, dalam huru-hara 1965-1966 itu juga, yang memisahkan sepasang anak kembar perempuan, yang satu gila, yang lain mati dan rohnya gentayangan dan kelak meraga sukma kepada saudaranya itu; (4) cinta segitiga antara ‘aku’, salah satu anak kembar itu, dan Nyi Rara Kidul; (5) tentang kuburan korban tentara Jepang dan kisah ‘hantu’ yang menyertainya; (6) tentang masa kecil dan lingkungan ‘aku’ di dekat kuburan itu, tempat roh kucing yang taksengaja diracuninya ternyata menemani roh anak perempuan dari salah satu kuburan tersebut; (7) tentang seorang pembobol bank terkenal, yang bertemu salah satu anak kembar itu di rumah sakit jiwa; (8) tentang seorang Joni yang sakit jiwa dan membunuh ayahnya sendiri.
Dari catatan yang sudah hilang, ‘asli’-nya tentu tidak sejelas dan setertib ini. Masing-masing ‘ide cerita’ itu tersebar di sana-sini, dalam kelompok-kelompok yang belum tersusun rapi sebagai ‘delapan’ ide cerita—urutan dan jumlah itu tersusun berdasarkan ingatan saja demi tulisan ini, dan sudah saya sebutkan tidak dimaksud sebagai kronologi. Pada kelompok-kelompok cerita yang belum jelas apa hubungannya itu, saya menerakan angka-angka urutan bab, sekiranya saja pantas sebagai urutan cerita yang utuh. Namun agaknya sekali lagi ternyata ‘keutuhan’ bukanlah selera saya. Dari hasil riset kecil-kecilan tentang suasana tahun 1965 dan 1966, saya anggap menarik untuk memasukkan saja materi riset sebagai bagian cerita, karena menurut saya jauh lebih menarik—selain lebih ‘praktis’—daripada cerita yang dapat saya bangun dari riset itu sendiri. Lagipula info masa 1965-1966 secara langsung melalui kliping dan bahasa koran masa itu, menurut saya akan menjadi permainan menarik dalam komposisi antara fakta dan fiksi.
Dengan demikian saya memiliki sejumlah padan yang dapat dimainkan dalam komposisi: (1) fakta hasil riset – fiksi karangan sendiri; (2) cerita Mas Nug – pengalaman saya; (3) imajinasi realis – imajinasi surealis; (4) kewarasan – kegilaan; dan menjadikannya berselang-seling adalah ‘novelisasi’-nya, dengan benang merah tokoh aku untuk menyatukannya. Meskipun begitu, penyatuan dan pengutuhan yang sebenarnya saya harapkan berlangsung justru di kepala pembaca, yang akan menyimpulkannya, atau sekurang-kurangnya mendapat suatu kesan—tokoh ‘aku’ hanyalah menyatukan sudut pandang, tetapi maknanya jelas ditulis oleh pembacanya. Bagi diri saya, di sanalah antara lain ukuran keberhasilan komunikatif teks seperti ini: seberapa jauh mampu membuat pembaca membangun dan memahami sebuah dunia berdasarkan pembacaannya sendiri.
***
Sejauh ini, barangkali gambaran tentang komposisi cerita panjang yang saya buat terbentuk bagaikan sebuah mozaik, tempat setiap bidang yang masing-masingnya merupakan bagian dari suatu alur, mendapat angka urutan bab dari saya—dan jadilah! Penyederhanaan ini mungkin tidak keliru, tetapi hanya jika menyangkut sebagian kecil dari proses. Penulisan cerita panjang, secara konseptual lebih cocok dalam konteks pengalaman saya sebagai penggubahan komposisi musik.
Dapat dibayangkan terdapat sebuah jalur bagaikan partitur tempat terdapatnya banyak lajur, dan pada setiap lajur ini mengalirlah nada-nada dari setiap instrumen yang bunyinya berbeda. Telah diketahui, meskipun warna bunyi setiap instrumen musik itu berbeda, pertimbangan sang penggubah atas peleburan semua bunyi dari setiap instrumen itulah yang menjadikannya sebagai kesatuan ‘pesan bunyi’—yang artinya bisa juga dengan sengaja berpesan untuk memecahkan kesatuan tersebut.
Dalam ‘novel psikologis’[5] yang mempertimbangkan ‘kewajaran dominan’, maka setiap lajur itu akan berisi karakter-karakter, ataupun karakter, latar, dan banyak lagi aspek yang biasa terdapat dalam sebuah ‘novel’, ‘roman’, atau apapun namanya, yang dalam perjalanan di setiap lajurnya masing-masing, ketika saling terhubungkan membentuk naratif yang utuh sampai jalur berakhir. Dalam cerita panjang di luar ‘estetika keutuhan’ berlaku proses serupa, kecuali bahwa ‘keutuhan psikologis’ tidak menjadi tujuannya sama sekali—setidaknya sampai jalur berakhir, karena suatu keutuhan dalam simpulan penerimaan, betapapun menjadi pesan yang diharapkan terbentuk dalam pembacaan. Apapun bentuknya.
Namun, untuk menutup catatan ini, harus saya katakan bahwa komposisi hanyalah sebagian saja dari berbagai dimensi lapisan, yang takterbatas, dalam seni menulis novel, roman, atau apapun namanya—yang bagi saya semua itu adalah cerita panjang.
*) Catatan untuk diskusi naskah novel Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara, 14 Juli 2011, Wisma Arga Mulya, Cisarua, Bogor.
[1] Sementara lema (entri) novel dan roman dalam Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra (1990), disamakan, yakni seperti dalam lema novel: Prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Istilah lain: roman. / Sedang pada lema roman, cukup ditulis: Lihat novel. Tengok h. 55, 68; sementara dalam Margaret Anne Doody, The True Story of the Novel (1998) akar novel dicari sejak 400-an tahun Sebelum Masehi, dengan perubahan ciri-ciri pokok yang terus berlangsung sampai abad ke-18.
[2] Tengok “Jakarta Jakarta & Insiden Dili” dalam Seno Gumira Ajidarma, Trilogi Insiden (2010), h. 374.
[3] Prapanca (hidup semasa Hayam Wuruk memerintah Majapahit antara 1350-1389, dan dipastikan Zoetmulder tidak lebih tua dari sang raja) menulis: “Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun lontar / Yang pertama ‘Tahun Saka’, yang kedua ‘Lambang, kemudian ‘Parwasagara’ / Berikut yang keempat ‘Bismacarana’, akhirnya cerita ‘Sugataparwa’ / Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap.” Dalam Slametmuljana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979), h. 321. Terjemahan yang lebih baru: “Tak berguna sejak lama sering-sering
menggubah kakawin merangkai kata-kata di atas lembaran lontar, / yang pertama Saka
Kala yang kedua Lambang setelah itu Parwwa Sagara, / yang keempat Bhisma Sarana dan yang terakhir ceritera Sugata Parwwa, Lambang dan Saka Kala dilanjutkan kembali tambahannya karena belum selesai.” Dalam Ketut Riana, Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit (2009), h. 447. Namun perhatikan
terjemahan Zoetmulder (via Dick Hartoko): “Tanpa hasil ia menyibukkan diri, terus menerus dan tekun, dengan menggubah kakawin-kakawin yang dituliskannya sebagai sanjak-sanjak di atas papan tulis. Ia mulai dengan jenis kronogram (sasakala), kemudian lambang (sanjak liris yang pendek), lalu Parwasagara, pada tempat yang keempat Bhismasarana, dan akhirnya dengan memaparkan kisah Sang Buddha. Kemudian ia kembali kepada jenis lambang dan kronogram, karena ia ingin menambah jumlahnya dan karena tugas itu belum selesai”. Dalam P. J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1974), diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko (1982), h. 440. Menurut Slametmuljana, “Kakawin Parwasagara, Bhismasaranantya, dan Sugataparwawarnnana telah selesai sebelum tahun 1365. / Hingga sekarang kita hanya mengenal Nagarakretagama sebagai satu-satunya karya Prapanca. Semua karya yang tersebut di atas tidak diketahui apa isinya dan bagaimana ujudnya.”, dalam Slametmuljana (1979), h. 254.
[4] Zoetmulder, P. J., Robson., S. O., Kamus Jawa Kuna – Indonesia (1995), diterjemahkan Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna dari Old Javanese – English Dictionary (1982), h. 785.
[5] Untuk pengertian ini, saya merujuk pernyataan Kundera: “Novel-novelku tidaklah psikologis. Lebih tepatnya: Mereka terletak di luar estetika novel yang normalnya disebut psikologis.”, yang kiranya dapat saya tafsirkan sebagai realisme konvensional. Tengok Milan Kundera, The Art of the Novel (1986), diterjemahkan ke bahasa Inggris dari bahasa Prancis oleh Linda Asher (1988), h. 23.

1 comment:

  1. Mantabs ...,

    Kembali merenungkan keterakaitan 'hidup' untuk bisa 'menghidupkan' tulisan hidup. Sejatinya memang bukan 'keterkaitan', malah. Namun itu semua adalah ruh yang mesti ditiupkan kala berkarsa dalam bercerita.

    Salam Budaya, Mas Seno ...

    ReplyDelete