Ceritakanlah
padaku tentang kejenuhan,” kata Alina pada juru cerita itu. Maka Juru cerita
itu pun bercerita tentang Sarman:
Pada suatu hari yang
cerah, pada suatu hari gajian, Sarman membuat kejutan. Setelah menerima amplop
berisi uang gaji dan beberapa tunjangan tambahan, dan setelah menorehkan paraf,
sarman termenung-menung. Tak lama.
Ia segera berteriak dengan suara keras.
”Jadi, untuk ini aku
bekerja setiap hari, ya? Untuk setumpuk kertas sialan ini, ya?!”
Ia berdiri dengan
wajah tegang. Tangan kirinya mengenggam amplop, tangan kanannya menuding-nuding
amplop itu, dan matanya menatap amplop itu dengan penuh rasa benci.
”Kamu memang bangsat!
Kamu memang sialan! Kamu brengsek! Kamu persetan! Memble! Aku tidak sudi kamu
perbudak! Aku menolak Kamu!”
Kantor yang
sehari-harinya sibuk, sejuk, saling tak peduli, dengan musik yang lembut itu,
pun mendadak jadi gempar.
”Lho ada apa Man? Kok
pagi-pagi sudah nyap-nyap?”
”Eh, Sarman kenapa
dia?”
”Jangan-jangan ia
belum makan.”
”Kesurupan
barangkali.”
”Man! Sarman! Sabar
man! Nanti kamu dimarahi!”
Tapi Sarman tidak
hanya berhenti disini. Ia melompat ke atas meja. Ia robek amplop cokelat itu.
Ia keluarkan uang dari dalamnya. Ia robek bundel uangnya. Dan sebagian uangnya
ia lemparkan ke udara.
”Nih! Makan itu duit!
Mulai hari ini aku tidak perlu di gaji! Dengar tidak kalian!? Tidak perlu
digaji! Aku akan bekerja suka rela, tetap rajin seperti biasa! Dengar tidak
kalian monyet-monyet?!”
Berpuluh-puluh uang
lembar Rp 10.000,- berguling-guling di udara dihembus angin AC. Kantor itu
seperti dikocok-kocok. Para pegawai tanpa malu-malu berebutan uang gaji Sarman.
Pria maupun wanita saling berdesak, bersikutan, dorong mendorong, berlompatan
meraih rejeki yang melayang-layang diudara. Mereka cepat sekali memasukkan uang
itu sekenanya dalam kantong bajunya. Lantas pura-pura tidak tahu.
Sarman menendang semua benda yang berserakan di mejanya, map-map yang
bertumpuk, mesin tik, segelas the, bahkan foto keluarganya ia tending melayang.
Layer monitor computer pun pecah digasaknya
“Sarman! Kamu gila!”
Sarman melompat dari
meja ke meja denganr ingan seperti pendekar dalam cerita silat. Ia tendang
semua barang-barang di atas meja karyawan-karyawan lain, sambil terus
memaki-maki. Tak jelasa benar apa yang dimaki.
Dalam waktu singkat, kator yang terletak di tingkat 17 itu pun berantakan.
Sekretaris-sekretaris wanita menjerit: ”Aaaa!” Dan para karyawan pria memperlihatkan
jiwa pengecut mereka, tidak berani berbuat apa-apa. Meski dalam hati mengharap
Sarman melempar-lempar lagi sisa uang yang dipegangnya. Dan Sarman bukannya tak
tahu.
”Kalian mau uang? Ha?
Kamu mau uang? Sukab! Kamu mau uang? Nih! Kamu mau uang? Nih! Kalian semua mau
uang? Nih! Nih! Nih! Makan!”
Sambil masih melompat
dari meja ke meja, Sarman, melempar-lemparkan uang ditangannya. Para karyawan
berubah jadi serangga yang mengikuti kemanapun Sarman pergi. Suasana kantor
sungguh menjadi hingar bingar. Wajah karyawan-karyawan itu seperti kucing
kelaparan. Mereka berebutan dengan rakus. Yang sudah melompat, jatuh terdorong.
Yang menubruk uang dilantai, diseret kakinya. Tidak sedikit uang robek dalam
pergulatan. Tarik menarik, cakar-mencakar, tendang-menendang, tanpa pandang
bulu.
”He, kalian masih mau
uang lagi?” tanya Sarman sambil berdiri di atas meja kepala bagian. Mereka
serentak menjawab.
”Mauuu!”
Sarman tersenyum.
Keringat menetes didahinya. Ia longarkan dasi yang mencekiknya.
”Baik! Tapi kalian
harus berteriak Hidup Uang! Hidup Uang! Setuju?”
”Setujuuuuu!”
Maka, seperti pemain
softball melempar bola, Sarman pun segera melemparkan lagi segepok uang
ditangannya. Uang itu berhamburan diudara, menari-nari bagaikan salju khayalan
di hari Natal pada panggung sandiwara. Mata para karyawan dan karyawati
berbinar-binar dengan riang, mulut mereka menganga, wajah mereka menujukkan
semangat tekad bulat yang sangat mengharukan.
”Serbuuuu!” teriak
mereka bersamaan. Pertarungan pun dimulai kembali. Kini mereka berebutan bagai
pemain disuah pesta. Mereka tertawa terkikik-kikik. Saking asyiknya, mereka
lupa bahwa banyak kancing baju mereka yang lepas, sepatu copot, rok tersingkap,
dan rambut terburai-burai. Sarman berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Ia
melompat dari meja ke meja sambil bersalto. Ruangan riuh dengan yel, meskipun
tidak terlalu serempak, karena mereka berteriak sambil berebutan uang di udara
dan dikolong-kolong meja: Hidup Uang! Hidup Uang!
Mendadak muncul Kepala
Bagian. Ia diam saja di pintu, menatap bawahan-bawahannya berpesta pora.
Wajahnya disetel supaya berwibawa. Lantas ia melangkah seperti tak terjadi
apa-apa, menuju ke mejanya.
Mula-mula para pegawai itu tidak tahu, mereka masih berebut sambil
tertawa-tawa. Namun yang tahu segera terdiam, dan kembali ke mejanya, pura-pura
bekerja. Padahal mejanya sudah berantakan dikacaukan sarman.
Lambat laun semuanya tahu kehadiran kepala bagian. Mereka mundur dengan
tersipu-sipu. Tangan mereka kedua-duanya menggenggam uang. Sisa uang bertebaran
di lantai, di kursi, di meja, di bak sampah, bercampur tumpahan kopi dan gelas
yang pecah. Kertas-kertas terserak-serak, morat-marit, kacau-balau, kata
peribahasa seperti kapal pecah.
Sarman masih berdiri di salah satu meja. Rambutnya kacau, wajahnya buas seperti
binatang tersudut, pakaianya yang biasa rapi, dan sepatunya yang
berkilat-kilat, kini kumal. Kepala bagian hampir tak mengenali Sarman, karyawan
paling rajin dan kedudukannya menanjak dengan cepat.
”Coba, tolong jelaskan
apa artinya semua ini,” ujarnya kemudian, dengan sabar, tapi tetap tegas.
Semua terdiam. Tapi
mata mereka semua tertuju kearah Sarman, yang masih terengah-engah, menjulang
diatas meja. Dalam sunyi, musik yang lembut terdengar lagi, namun tak membuat
suasana menjadi dingin.
Pandangan kepala bagian akhirnya pun tertuju pada Sarman.
”Sarman apakah kamu
bisa turun dari atas meja itu?” Tanyanya.
”Bisa pak, tapi saya
tidak mau.”
”Kenapa?”
”Jawabnya panjang
sekali Pak, tidak perlu saya jelaskan.”
”Kenapa tidak? Kita
bisa membicarakanya diruangan lain dan …”
”Tidak Pak! Jangan
coba-coba merayu!” tukas Sarman, ”Hari ini saya menolak gaji, menolak bekerja,
menolak menuruti Bapak. Pokoknya menolak apa saja yang seharusnya terjadi! Saya
tidak suka keadaan ini! Saya benci!”
Kepala Bagian
mendekat, dengan wajah kebapakkan ia mencoba menenangkan pegawai kesayangannya
itu.
”Apakah kamu mau cuti
Sarman? Kamu boleh ambil cuti besar, cutilah satu bulan. Kamu sudah bekerja
sepuluh tahun.”
Tapi Sarman malah
menjejak meja, menendang sisa tumpukan kertas di meja itu, lantas melompat lagi
ke meja lain. Seorang wanita yang duduk disitu terpaku dengan ketakutan, tidak
berani bergerak.
”Jangan mendekat! Saya
sudah coba jelaskan mulai hari ini saya menolak apa saja! Mengerti tidak? Saya
menolak apapun kemauan kalian!”
Kepala bagian itu sebetunya ingin marah, dan mengusir Sarman, tapi Sarman
terlalu penting untuk perusahaan. Lagi pula alangkah tak layak memecat seorang
pegawai yang sangat berjasa seperti Sarman. Sementara itu berdatanganlah para
karyawan dari bagian lain. Kejadian itu begitu cepat tersebar. Beberapa petugas
keamanan memasuki ruangan. Mereka akan bertindak, tapi Kepala Bagian menahan.
”Tunggu! Biar saya
yang mengatasinya! Saya kenal dia, saya kenal dia, Sarman anak buah saya selama
bertahun-tahun.”
Maka petugas-petugas
keamanan pun hanya sibuk dengan HT mereka. Telepon berdering disalah satu meja,
memecahkan keheningan, tapi Sarman keburu melompat kesana dan menendangnya. Ia
masih menggenggam sebundel uang. Gajinya memang termasuk tinggi di kantor itu.
Maklumlah ia sudah bekerja disana selama sepuluh tahun.
”Untuk apa kamu
lakukan semua ini Sarman? Untuk apa?” tanya Kepala Bagian.
”Itu sama sekali tidak
penting!”
”Lantas kamu mau apa,
aku sudah menawarkan cuti besar, langsung mulai hari ini, tunjangannya bisa
kamu ambil hari ini juga. Kamu juga boleh pakai hotel milik perusahaan kita di
Bali, pakai Vila kantor kita di Puncak, pergilah dengan tenang biar kami
selesaikan pekerjaanmu. Terus terang, selama ini kami memang terlalu…”
”Apa? Cuti? Cuti kata
Bapak tadi?” Ujar Sarman sambil meletakkan tangan ditelinga, ”Cuti besar
setelah sepuluh tahun bekerja. Cuti? Ha-ha-ha-ha! Cuti? Hua-ha-ha-ha! Cuti
besar lantas masuk lagi, dan bekerja sepuluh tahun lagi? Huaha-ha-ha!
Hua-ha-ha-ha! Ambillah cutimu Pak!”
Dan Sarman dengan
lompatan karate menerjang jendela. Jendela tebal di tingkat 17 itu tidak
langsung pecah. Sarman meninjunya beberapa kali sampai tangannya berdarah,
lantas ia mengambil kursi, mengahantamkannya ke jendela, barulah jendela itu
pecah. Angin yang dahsyat menyerbu masuk kantor. Kertas-kertas berterbangan.
Sarman melompat ke jendela. Siap melompat kebawah. Orang-orang gempar dan
menjerit-jerit.
”Sarman! Jangan bunuh
diri Sarman!”
”Jangan akhiri hidupmu
dengan sia-sia Sarman! Iangat anak istrimu! Ingat orang tuamu dikampung! Ingat
Sahabat-sahabat kamu!”
”Sarman! Pakai
oatakmu! Gunakan Akal sehatmu! Hidup ini cukup berharga! Hidup ini tidak
sia-sia!”
Sarman yang sudah
menhadap kejalan raya berbalik, sambil menendang sisa kaca di kusen jendela, ia
berteriak dengan marah.
”Bangsat kalian semua!
Bangsat! Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap pagi dan berangkat dengan
tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh tahun aku berangkat pagi hari dan
pulang sore hari melalui jurusan yang sama. Sudah sepuluh tahun aku memasukkan
kartu absen di mesin keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku
melakukan pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun!
Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi! Memang aku dibayar untuk itu dan bayaran
itu tidaklah terlalu kecil! Ini bukan salah kalian! Ini juga bukan salah
perusahaan! Ini semua hanya omong kosong! Mengerti tidak kalian monyet-monyet?
Ini semua Cuma omong kosong!”
”Sarman sudah gila,”
bisik seseorang.
”Kenap sih dia bisa
begitu?” desis yang lain.
”Semua ini Cuma lewat
dan berlalu seperti debu!”
Sarman masih terus
nerocos,
”Apa kalian masih ingat angka-angka yang kalian tuliskan kemarin? Apa kalian masih
ingat kalimat-kalimat yang kalian tulis kemarin? Apakah kalian masih ingat
nama-nama pada daftar relasi kita kemarin? Apa kalian masih ingat nomer-nomer
mobil kantor kita yang baru? Apa kalian masih ingat nama-nama pegawai baru
kita? Apa kalian masih ingat nama kawan-kawan kita yang sudah keluar dari
perusahaan ini? Apa kalian masih ingat nama gombal-gombal yang selalu kita beri
komisi? Begitu banyak, begitu dekat, tapi alangkah tidak berarti. Kita semua
memang gombal! Aku jug acuma gombal! Jadi, sudahlah, jangan repot-repot! Besok
kalian akan lupakan kejadian ini! Lenyap hilang seperti debu! Seperti gombal di
pojok gudang! Seperti oli di lantai bengkel! Seperti sekrup…. ”
Sementara Sarman masih
terus berpidato, para petugas keamanan tidak kehilangan akal. Mereka memanggil
petugas pemadam kebakaran, tapi kedatangannya menimbulkan geger.
”Mana yang kebakaran
Pak?”
”Bukan kebakaran!”
”Ada apa?”
”Ada orang mau bunuh
diri!”
”Di mana?”
”Tuh!”
Syahdan diketinggian
tingkat 17, tampaklah jendela yang terbuka itu menganga. Sarman tampak kecil,
tapi jelas, menghadap kedalam sedang berteriak-teriak. Orang-orang yang sedang
berada dibawah berhenti, menatap kesana. Mobil-mobil juga berhenti. Jalanan
macet. Dengan mendadak, Sarman jadi tontonan. Beberapa orang menggunakan
teropong. Bahkan ada yang memotret dengan lensa Tele. Petugas pemadam kebakaran
membentangkan jala. Tangga mobil pemadam kebakaran, yang Cuma 40,9 meter,
diulurkan. Semprotan air disiapkan, untuk menaha laju kejatuhan tubuh Sarman,
kalau jadi melompat. Jalanan macet total. Helikopter polisi merang-raung
diudara. Para penonton duduk di atap mobil. Beberapa orang bertaruh dengan
jumlah lumayan, Sarman jadi bunuh diri atau tidak. Namun kru televisi terlambat
datang.
Jalan lain untuk mencegah Sarman juga diambil. Di Helikopter polisi itu
terdapatlah keluarga Sarman, istri Sarman dan anaknya yang bungsu.
”Sarman, lihat itu
anak istrimu!” teriak para karyawan dalam gedung.
”Ya, itu anak istrimu!
Ingatlah mereka Sarman! Jangan berbuat nekad!”
”Sarman! Sarman! Aku
istrimu Sarman! Aku mencintai kamu! Anak-anak juga mencintai kamu! Jangan
melompat Sarman!” teriak istrinya sambil menangis, Suaranya menggema lewat
penegeras suara di celah raungan helikopter.
”Bapak! Bapak!” seru
anaknya.
Sarman berbalik.
Dilihatnya wanita itu melambai dengan air mata tumpah ruah. Hatinya tercekat.
Ia ingin melambai kembali. Seperti dilakukannya setiap pagi ketika berangkat
kantor. Namun ini mengingatkannya pada segepok uang yang masih digenggamnya.
Sarman kumat lagi. Tapi dari dalam kantor, dua petugas kemanan merayap perlahan
ke jendela.
”Ingat anak-anak kita
Sarman! Mereka mebutuhkan kamu! Ingat ibumu, ia mau datang minggu ini dari
kampung! Sarman, o Sarman, jangan tinggalkan aku Sarman!” teriak istrinya lagi.
”Apa? Pulang untuk ketemu
kamu?! Ketemu dengan segenap tetek-bengekmu?! Pulang utnuk menemui segenap
omong kosongmu?! Kamu tidak pernah mau tahu perasaanku! Kamu Cuma tahu
kewajiban-kewajibanku! Kamu Cuma tahu ini!”
Sarman mengacungkan uang ditangannya,
”Kamu Cuma tahu ini
kan?!”
”Bukan begitu Sarman,
aku tidak bermaksud begitu, kamu salah sangka Sarman, aku …”
”Ini uang kamu!
Makan!”
Dan Sarman melempar
ratusan ribu rupiah ke udara. Uang ditangannya sudah habis. Lembaran-lembaran
uang itu berteberan ditiup angin, berguling-guling dan berkilauan dalam siraman
cahaya matahari.
”Sarman, o Sarman…”
Istrinya menangis tersedu-sedu. Anaknya hanya bisa berteriak,
”Bapak! Bapak!”
Angin masih bertiup
kencang diketinggian itu. Sarman melihat uang gajinya berguling-guling melayang
kebawah. Kertas-kertas itu belum sampai tanah. Masih melayang-layang menyebar.
Orang-orang dikantor yang ada ditingkat bawah dari kantor Sarman terkejut melihat
uang berterbangan di udara. Dibawah anak-anak maupun orang dewasa bersiap-siap
menangkap uang itu. Suasana sangat meriah. Sarman termenung. Sekilas terlintas
untuk megakhiri sandiwara ini.
Saat itulah kedua petugas keamanan yang merayap, tiba di jendela. Salah seorang
meyergap, berusaha merangkul Sarman, namun gerakkan yang abru pertama kali ia
lakukan dalam hidupnya itu kurang sempurna. Sarman malah jadinay terpeleset,
ketika membuat gerakan refleks menghindar. Petugas itu hanay mencengkeram
sepatu sarman.
Orang-orang dibawah berteriak histeris. Oarang-orang dalam gedung berebutan
melongok dari jendela.tubuh sarman meluncur. Dalam jarak yang cukup jauh Sarman
sempat berpikir, sandiwaranya kini menjadi kenyataan. Dengan gerak mirip
tarian, tubuh Sarman menembus sebaran uang kertas yang belum juga sampai
kebumi. Di bawah, pemadam kebakaran telah membentangkan jala penyelamat
lebar-lebar. Empat selang memancarkan air dengan keras ke atas.
”Apakah Sarman
akhirnya bisa diselamatkan?” desak Alina yang sudah tidak sabar.
”Oh, itu sama sekali
tidak penting Alina,” jawab si juru cerita, ”Itu sama sekali tidak penting.”
Ia segera berteriak dengan suara keras.
Sarman menendang semua benda yang berserakan di mejanya, map-map yang bertumpuk, mesin tik, segelas the, bahkan foto keluarganya ia tending melayang. Layer monitor computer pun pecah digasaknya
Dalam waktu singkat, kator yang terletak di tingkat 17 itu pun berantakan. Sekretaris-sekretaris wanita menjerit: ”Aaaa!” Dan para karyawan pria memperlihatkan jiwa pengecut mereka, tidak berani berbuat apa-apa. Meski dalam hati mengharap Sarman melempar-lempar lagi sisa uang yang dipegangnya. Dan Sarman bukannya tak tahu.
Mula-mula para pegawai itu tidak tahu, mereka masih berebut sambil tertawa-tawa. Namun yang tahu segera terdiam, dan kembali ke mejanya, pura-pura bekerja. Padahal mejanya sudah berantakan dikacaukan sarman.
Lambat laun semuanya tahu kehadiran kepala bagian. Mereka mundur dengan tersipu-sipu. Tangan mereka kedua-duanya menggenggam uang. Sisa uang bertebaran di lantai, di kursi, di meja, di bak sampah, bercampur tumpahan kopi dan gelas yang pecah. Kertas-kertas terserak-serak, morat-marit, kacau-balau, kata peribahasa seperti kapal pecah.
Sarman masih berdiri di salah satu meja. Rambutnya kacau, wajahnya buas seperti binatang tersudut, pakaianya yang biasa rapi, dan sepatunya yang berkilat-kilat, kini kumal. Kepala bagian hampir tak mengenali Sarman, karyawan paling rajin dan kedudukannya menanjak dengan cepat.
Pandangan kepala bagian akhirnya pun tertuju pada Sarman.
Kepala bagian itu sebetunya ingin marah, dan mengusir Sarman, tapi Sarman terlalu penting untuk perusahaan. Lagi pula alangkah tak layak memecat seorang pegawai yang sangat berjasa seperti Sarman. Sementara itu berdatanganlah para karyawan dari bagian lain. Kejadian itu begitu cepat tersebar. Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan. Mereka akan bertindak, tapi Kepala Bagian menahan.
”Apa kalian masih ingat angka-angka yang kalian tuliskan kemarin? Apa kalian masih ingat kalimat-kalimat yang kalian tulis kemarin? Apakah kalian masih ingat nama-nama pada daftar relasi kita kemarin? Apa kalian masih ingat nomer-nomer mobil kantor kita yang baru? Apa kalian masih ingat nama-nama pegawai baru kita? Apa kalian masih ingat nama kawan-kawan kita yang sudah keluar dari perusahaan ini? Apa kalian masih ingat nama gombal-gombal yang selalu kita beri komisi? Begitu banyak, begitu dekat, tapi alangkah tidak berarti. Kita semua memang gombal! Aku jug acuma gombal! Jadi, sudahlah, jangan repot-repot! Besok kalian akan lupakan kejadian ini! Lenyap hilang seperti debu! Seperti gombal di pojok gudang! Seperti oli di lantai bengkel! Seperti sekrup…. ”
Jalan lain untuk mencegah Sarman juga diambil. Di Helikopter polisi itu terdapatlah keluarga Sarman, istri Sarman dan anaknya yang bungsu.
Sarman mengacungkan uang ditangannya,
Saat itulah kedua petugas keamanan yang merayap, tiba di jendela. Salah seorang meyergap, berusaha merangkul Sarman, namun gerakkan yang abru pertama kali ia lakukan dalam hidupnya itu kurang sempurna. Sarman malah jadinay terpeleset, ketika membuat gerakan refleks menghindar. Petugas itu hanay mencengkeram sepatu sarman.
Orang-orang dibawah berteriak histeris. Oarang-orang dalam gedung berebutan melongok dari jendela.tubuh sarman meluncur. Dalam jarak yang cukup jauh Sarman sempat berpikir, sandiwaranya kini menjadi kenyataan. Dengan gerak mirip tarian, tubuh Sarman menembus sebaran uang kertas yang belum juga sampai kebumi. Di bawah, pemadam kebakaran telah membentangkan jala penyelamat lebar-lebar. Empat selang memancarkan air dengan keras ke atas.
No comments:
Post a Comment