Kata orang kamu yang namanya Zino Gumiro Azi Darmo? Kata orang kamu yang bikin antologi Dilarang Bersiul Di Kamar Mandi? Kata orang Protagonist semua cerita itu bernama Sukab? Kata orang di semua ceritera itu kamu ngenye’ Sukab?
Seberapa pentingkah asal-usul Sukab?
Tanpa membawa-bawa teori, saya menjadi geli, karena tokoh fiktif
ini rupa-rupanya lebih eksis ketimbang banyak manusia beneran, yang berdarah
dan berdaging, tapi kehadiranya tidak pernah eksistensial, sehingga kemungkinan
besar tidak pernah diperbincangkan oleh siapapun dalam konteks apapun seumur
hidupnya. Padahal, dalam fiksi pun sukab bukanlah nama seorang tokoh. Sukab
hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekedar karena
saya malas “mengarang”, menyesuai-nyesuaikan nama dengan karakter tokoh supaya
meyakinkan, dan lain sebagainya. Setiap kali saya kesulitan mencari nama, saya
pasang saja nama Sukab. “Toh sama-sama fiktif ini,” pikir saya, “kenapa harus
susah-susah cari nama?”
Tentu saja permainan antara fakta dan fiksi inimerupakan
pekerjaan rumah yang menarik dalam perbincangan makna, namun tentu bukan itu
yang ingin saya bicarakan disini. Saya hanya ingin membagi apa yang saya
ketahui tentang nama Sukab ini, dengan harapan tidak berpengaruh terlalu besar
kepada cerita-cerita saya(yang saya andaikan sudah terlanjur dibaca sebelum
catatan ini), apalagi merusaknya.
Nama Sukab pertama kali saya dengar ketika saya belum
pernah menulis cerpen. Seorang kawan menyebut nama itu(dengan ejaan yang lebih
terdengar sebagai “sukap”) sebagai salah seorang bengkel teater pimpinan
rendra, pada masa pementasan Mastodon dan burung kondor(1974). Saya sendiri
tidak pernah merasa melihat, apalagi kenal dengan “sukap” ini, namun bunyi
“sukap” terdengar sangat enak ditelinga saya, dan sampai catatan ini ditulis
saya masih teringat ekspresi wajah kawan saya itu ketika utnuk pertama kalinya
menuliskan nama Sukab, dan memang saya tidak pernah teringat adegan itu lagi
kalau menulis cerita. Nama itu suka muncul begitu saja setiap kali saya
membayangkan sosok “rakyat”.
Namun apakah saya konsisten dengan karakterisasi tokoh-tokoh
Sukab? Saya kira tidak juga. Sukab pernah menjadi nama remaja 17 tahun, pernah
menjadi nama pemuda perlente, pernah menjadi nama penggiring bola absurd, dan
bukan tidak sering hanya menjadi nama tokoh numpang lewat, tanpa sempat menjadi
karakter. Sebenarnya Sukab pun pernah mati, bahkan lebih dari sekali.
Rupa-rupanya Sukab yang bermacam-macam ini kemudia menjadi seorang Sukab yang
diandaikan bermain dibanyak cerita. Apa boleh buat. Saya sendiri pun jadi
terpengaruh. Dalam rubrik surat dari Palmerah yang saya isi setiap minggu
untuk majalah-jakarta-jakarta selama tiga tahun, sukab selalu nyeletuk dalam
N.B., dan secuil demi secuil menjadi sosok yang utuh. Seorang pembaca
Jakarta-jakarta yang produsen kaos, mencetak beberapa celetukan Sukab ini
sebagai “opini kaos oblong” yang marak ditahun-tahun terakhir Orde Baru.
Cerita pertama dalam buku Dunia Sukab, Penari dari
Kutai, meskipun sudah selesai ditulis tahun 1984, tidak pernah saya ikutkan
dalam buku-buku kumpulan cerita saya, karena saya selalu menganggapnya sebagai
cerita silat saja. Sekarang, ketika segala bentuk ekspresi kekerasan semakin
dikecam, mestinya cerita itu akhirnya hadir juga dalam buku Dunia Sukab,
bukan sekedar karena cerita, melainkan karena dalam cerita inilah—sejauh saya
bisa ingat—untuk pertama kalinya nama sukab muncul.
Tapi apalah artinya sebuah nama? Judul-judul, nama-nama, kata-kata,
semuanya berbaur dalam berbagai peristiwa, membentuk dunia kita, dengan atau
tanpa Sukab.
*)
Di sunting dari Serba Serbi Sukab, catatan penulis dalam buku Dunia
Sukab.
No comments:
Post a Comment