Pages

Monday, May 21, 2012

Sukab

Kata orang kamu yang namanya Zino Gumiro Azi Darmo? Kata orang kamu yang bikin antologi Dilarang Bersiul Di Kamar Mandi? Kata orang Protagonist semua cerita itu bernama Sukab? Kata orang di semua ceritera itu kamu ngenye’ Sukab?
Seberapa pentingkah asal-usul Sukab?
Tanpa membawa-bawa teori, saya menjadi geli, karena tokoh fiktif ini rupa-rupanya lebih eksis ketimbang banyak manusia beneran, yang berdarah dan berdaging, tapi kehadiranya tidak pernah eksistensial, sehingga kemungkinan besar tidak pernah diperbincangkan oleh siapapun dalam konteks apapun seumur hidupnya. Padahal, dalam fiksi pun sukab bukanlah nama seorang tokoh. Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekedar karena saya malas “mengarang”, menyesuai-nyesuaikan nama dengan karakter tokoh supaya meyakinkan, dan lain sebagainya. Setiap kali saya kesulitan mencari nama, saya pasang saja nama Sukab. “Toh sama-sama fiktif ini,” pikir saya, “kenapa harus susah-susah cari nama?”
Tentu saja permainan antara fakta dan fiksi inimerupakan pekerjaan rumah yang menarik dalam perbincangan makna, namun tentu bukan itu yang ingin saya bicarakan disini. Saya hanya ingin membagi apa yang saya ketahui tentang nama Sukab ini, dengan harapan tidak berpengaruh terlalu besar kepada cerita-cerita saya(yang saya andaikan sudah terlanjur dibaca sebelum catatan ini), apalagi merusaknya.

Nama Sukab pertama kali saya  dengar ketika saya belum pernah menulis cerpen. Seorang kawan menyebut nama itu(dengan ejaan yang lebih terdengar sebagai “sukap”) sebagai salah seorang bengkel teater pimpinan rendra, pada masa pementasan Mastodon dan burung kondor(1974). Saya sendiri tidak pernah merasa melihat, apalagi kenal dengan “sukap” ini, namun bunyi “sukap” terdengar sangat enak ditelinga saya, dan sampai catatan ini ditulis saya masih teringat ekspresi wajah kawan saya itu ketika utnuk pertama kalinya menuliskan nama Sukab, dan memang saya tidak pernah teringat adegan itu lagi kalau menulis cerita. Nama itu suka muncul begitu saja setiap kali saya membayangkan sosok “rakyat”.
Namun apakah saya konsisten dengan karakterisasi tokoh-tokoh Sukab? Saya kira tidak juga. Sukab pernah menjadi nama remaja 17 tahun, pernah menjadi nama pemuda perlente, pernah menjadi nama penggiring bola absurd, dan bukan tidak sering hanya menjadi nama tokoh numpang lewat, tanpa sempat menjadi karakter. Sebenarnya Sukab pun pernah mati, bahkan lebih dari sekali. Rupa-rupanya Sukab yang bermacam-macam ini kemudia menjadi seorang Sukab yang diandaikan bermain dibanyak cerita. Apa boleh buat. Saya sendiri pun jadi terpengaruh. Dalam rubrik surat dari Palmerah yang saya isi setiap minggu untuk majalah-jakarta-jakarta selama tiga tahun, sukab selalu nyeletuk dalam N.B., dan secuil demi secuil menjadi sosok yang utuh. Seorang pembaca Jakarta-jakarta yang produsen kaos, mencetak beberapa celetukan Sukab ini sebagai “opini kaos oblong” yang marak ditahun-tahun terakhir Orde Baru.

Cerita pertama dalam buku Dunia Sukab, Penari dari Kutai, meskipun sudah selesai ditulis tahun 1984, tidak pernah saya ikutkan dalam buku-buku kumpulan cerita saya, karena saya selalu menganggapnya sebagai cerita silat saja. Sekarang, ketika segala bentuk ekspresi kekerasan semakin dikecam, mestinya cerita itu akhirnya hadir juga dalam buku Dunia Sukab, bukan sekedar karena cerita, melainkan karena dalam cerita inilah—sejauh saya bisa ingat—untuk pertama kalinya nama sukab muncul.
Tapi apalah artinya sebuah nama? Judul-judul, nama-nama, kata-kata, semuanya berbaur dalam berbagai peristiwa, membentuk dunia kita, dengan atau tanpa Sukab.

*) Di sunting dari Serba Serbi Sukab, catatan penulis dalam buku Dunia Sukab. 

No comments:

Post a Comment