Pages

Sunday, May 27, 2012

Sukab Ingin Jadi Tentara

Begitulah kejadiannya. Sukab, remaja tingting tujuh belas tahun, tiba-tiba menyatakan ingin jadi tentara.

Meja makan mendadak jadi senyap. Sukab sebentar lagi lulus SMU. Ia seorang pelajar teladan yang hebat.Jago dalam matematika, jago dalam kesenian, jawara pula dalam olahraga. Busyet. Tawaran beasiswa datang dari berbagai perguruan tinggi bergengsi, bahkan ada pula yang dari luar negeri. Astaga, sudah sejak kelas 1 tawaran semacam itu datang. Karena Sukab memang top.
Main band bisa, lomba ilmiah remaja pun jadi juara–ditantang berkelahi, malah preman pun dihajarnya. Apa boleh buat. Di dunia ini memang ada orang-orang serba bisa. Dikaruniai bakat seabrek, cakep dan ganteng, cuma namanya saja yang biasa. Sukab.
Dengan otak, prestasi, dan tingkah laku seperti itu, Sukab menjadi harapan keluarga.

“Dia nanti bisa jadi MBA.”
“Memangnya mengapa jadi MBA?”
“Banyak uangnya.”
“Ah, banyak MBA tidak kaya-kaya amat, mereka cuma bisa jadi pegawai, bukan pemilik.”
“Yah, pokoknya jurusan uang lah!”
“Apa harus jurusan uang?”
“Habis apa?”

Keluarga Sukab memang sudah lama bermimpi bisa melejit dari kubangan kemiskinan. Untunglah, miskin-miskin begitu, mereka bukan dari jenis yang suka main judi, dan mengharapkan uang tiba seketika. Mereka berusaha secara wajar. Kerja yang rajin. Menabung. Belajar keras. Tapi tetap bermimpi menjadi kaya, kalau bisa yang raya. Harapan mereka terletak dalam diri Sukab.

Sukab pasti lulus dengan cepat, pikir Ayah. Segera diterima di perusahaan besar milik salah satu konglomerat, dan pokoknya cepat kaya. Apa itu kaya? Entahlah. Pokoknya yang seperti orang-orang lain yang kaya.

“Apakah engkau sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang, wahai Sukab anakku?”
“Sudah Ayah, aku sudah mantap, aku ingin jadi tentara.”
“Tentara? Kenapa tentara?”
“Karena aku ingin membela bangsa dan negara.”
“Kalau hanya ingin membela bangsa dan negara, kamu tidak harus menjadi tentara wahai Sukab anakku, banyak jalan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa.
Bukan hanya tentara yang bisa mengabdi, bukan cuma tentara yang bisa berkorban.”
“Aku tahu Ayah, tapi aku ingin jadi tentara.”
“Kenapa harus tentara?”
“Tidak harus Ayah, tapi aku maunya jadi tentara.”

Lantas meja makan sepi lagi. Terdengar klotak-klotak bunyi sendok dan garpu menyentuh piring. Ada spaghetti di meja, daging bumbu saos tomatnya yang merah berkilat di bawah sinar lampu. Mereka adalah keluarga guru yang sederhana. Cukup miskin, tapi masih punya selera. Maklumlah, guru-guru didikan zaman Belanda.

“Apa sih yang menarik dari seorang tentara, Sukab?”
“Banyak Ayah, banyak sekali.”
“Sebut satu saja.”

Sukab tersenyum memandang ayahnya, kemudian ibunya, kakak-kakak, dan adik-adiknya. Mengapa semua orang menjadi panik, pikirnya, mengapa semua orang kebakaran jenggot. Apa salahnya dengan menjadi tentara? Lumayan banyak orang menjadi tentara di negeri ini. Kalau tidak, siapa nanti yang berbaris waktu hari Angkatan Bersenjata. Menjadi tentara itu kan pekerjaan mulia. Coba bayangkan, apa profesi yang lebih mulia dari tentara? Inilah satu-satunya profesi di mana kehilangan nyawa karena mati terbunuh menjadi risiko yang resmi. Itulah sebabnya Sukab selalu berpikir tentara itu hebat. Siap mengorbankan nyawa. Apa yang lebih berkorban dari ini? Apakah berkorban itu salah? Kalau berkorban disebut salah, pemikiran apa yang benar pada zaman sekarang ini?

Sukab masih terus tersenyum. Ia merasa berada di atas angin. Cuma saja ia masih menghormati orang tuanya. Ia tahu, keluarganya tak luput dari impian-impian untuk hidup enak. Siapa yang tak ingin hidup enak? Meskipun kedua orang tuanya adalah guru-guru SD dan SMP yang juga mengajarkan makna penderitaan Sidharta Gautama kepada murid-muridnya, bahwa jalan menuju nirwana adalah jalan samsara, namun pelajaran tetaplah tinggal pelajaran. Keluar dari kelas mereka menjadi manusia biasa kembali. Berboncengan naik sepeda motor bebek, kembali ke rumah BTN mereka yang sempit di pinggiran kota.
Setiap saat mobil-mobil bagus menyelip dan kadang men­cipratkan air yang menggenang sehabis hujan.
Namun, Ayah yang sudah tidak pernah marah lagi semenjak 30 tahun belakangan ini, tampaknya tiba-tiba kehilangan kesabaran. Ia menggebrak meja.

“Tolong dijawab Sukab, kenapa kamu ingin menjadi tentara?” Ruangan tambah sunyi mencekam. Semua orang ketakutan. “Jawablah Sukab anakku,” kata lbu, “apa susahnya menjawab pertanyaan ayahmu.”
Kakak-kakak dan adik-adiknya terpaku. Belum pernah mereka melihat ayahnya marah seperti itu.

Namun Sukab tetap tidak menjawab. la hanya tersenyum.

***
Bukan cuma keluarganya yang tidak habis pikir. Teman-­temannya juga bingung.

“Ente memang ajaib Kab, dengan otak seperti ente punya itu, ente bisa masuk I-Te-Be, jadi insinyur, kerja di Pertamina, lantas jadi kaya.
Ente bisa masuk UI, jadi entah apa, kek, pokoknya UI, lantas juga jadi kaya. Malah ente sebenarnya kan pernah ditawarin pemandu bakat dari Harvard, toh? Supaya ambil program Em-Bi-E? Sudahlah, ngapain ente jadi tentara, ngos-ngosan lari-lari membawa beban tiap hari. Nanti kalau lulus Em-Bi-E, kerja aje ame gue, Babe udah janji kasih beberapa perusahaan, seperti nyang udah dikasih ama kakak­-kakak gue. Ayolah Kab, pokoknya tajir, deh! Tajiiiirrrr!”
“Gue kagak pengin jadi Em-Bi-E, gue ingin jadi tentara.”

Temannya yang bicara panjang lebar seperti Si Doel itu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata kepada teman-temannya yang berkumpul menunggu bis di halte. Belum ada bis kota yang mau mengangkatnya, takut kaca akan jadi pecah karena tawuran. “Kalian dengar tidak? Ajaib kagak, tuh?”

Seseorang mendekati Sukab.
“Kali lu pengin berkelahi melulu, ya, Kab?”
Sukab menggeleng.
“Pengin pakai baju seragam yang ada pangkatnya?” Sukab mulai kesal.
“Pengin jadi jenderal begitu? Pengin jadi bos?”

Sebuah bis kota yang kernetnya tampak jagoan berhenti. Mereka masuk semua ke bis itu. Dengan cepat mereka memenuhi tempat. Sisanya bergelantungan di pintu, sampai bis itu berjalan miring.

“Selamat tinggal Sukab, selamat bermimpi jadi tentara. Mudah­-mudahan terkabul cita-citamu terjun ke medan perang.”
Setelah mereka pergi, halte menjadi agak sepi. Sukab tak pergi­-pergi dari situ.
Ia melihat jalanan yang semerawut, macet, dan tak menarik.
“Apakah masa depan akan menjadi lebih baik?” Sukab berkata, kepada dirinya sendiri.

Kemudian ia melihat sebuah truk tentara. Penuh sesak dengan tentara. Mereka berdiri di atas truk melihat keluar, ke jalanan yang penuh sesak dengan mobil segala rupa. Tentara yang diangkut dengan truk menuju entah ke mana itu memerhatikan apa saja yang bisa dilihat di jalan. Ada anak kecil menjilati es krim di samping ibunya. Sementara ibunya menyetir sambil bicara dengan handphone, dengan entah siapa di ujung dunia yang mana. Orang-orang berdasi tampak kesal dengan mobilnya. Menyetel radio yang penuh iklan melulu. Lagi-lagi ber-handphone ria. Ada mobil penuh boneka. Ada mobil penuh stiker. We're The Army Family. Begitulah salah satu stiker itu berbunyi. Begitu banyak mobil, begitu banyak orang, begitu banyak energi terbuang di perempatan yang lampu merahnya macet ini.
Orang-orang mulai keluar dari pintu dan bertengkar di jalanan.

Jalanan yang penuh, jalanan yang hiruk pikuk, jalanan yang menjengkelkan. Sukab memerhatikan bagaimana truk tentara itu tidak maju-maju. Beringsut seinci demi seinci, dan mereka dipanggang panas matahari. Sukab membayangkan jika dirinya berada di antara mereka. Mengenakan seragam dan menggenggam senjata. Apakah yang akan terjadi?
***
Di ujung jalan muncul Ratri. Sukab memang menunggu Ratri di situ, tidak menunggu bis. Dan ia juga tidak ingin naik bis. Mereka berjalan kaki dalam suasana senja yang menawan. Ratri tidak banyak bicara. Rambutnya dikepang dua. Mereka berjalan perlahan-lahan.

Sukab memandang ke langit.
“Bagus ya langitnya?”
Ratri yang selalu menunduk, sambil mengepit buku dengan kedua tangan ke dadanya, mendongakkan kepala. Tersenyum sambil memandang Sukab, lantas tunduk lagi.
“Ya, bagus, seperti hatimu,” ujarnya perlahan, nyaris seperti berbisik.
Mereka berjalan terus.
“Kamu dengar mereka bicara tentang aku?” Sukab memecah kebisuan.
“Guru juga membicarakan kamu di depan kelasku.”
“Guru? Di depan kelas?”
“Ya, katanya kamu mau jadi tentara.”
“Apa kata guru?”
“Mereka bilang, belum pernah ada murid sekolah ini yang jadi tentara.”
“Menurut kamu bagaimana?”
Ratri tidak segera menjawab.
“Katakanlah padaku Ratri, menurut kamu bagaimana? Aku ingin mendengar pendapatmu.”
“Pendapatku tidak akan mengubah apa-apa kan?”
“Memang tidak, tapi boleh dong aku tahbu pendapatmu.”
“Kenapa?”
“Kamu tidak ingin aku mendengar pendapatmu?”
Ratri hanya tersenyum.
“Aku tidak punya pendapat,” kata Ratri, “sebelum aku tahu kenapa kamu ingin menjadi tentara.”
“Kenapa semua orang ingin tahu? Bukankah sudah jelas menjadi tentara itu sesuatu yang baik? Lihat saja sumpah prajurit itu, masak orang ingin bertanya lagi?”
“Semua orang ingin mendengar dari mulut kamu sendiri. Tujuan yang sebenarnya apa.”
Senja makin gelap. Lampu jalanan menyala. Mobil-mobil juga menyalakan lampunya.
“Kamu ingin tahu kenapa aku ingin jadi tentara, Ratri?” Sukab tertawa, seperti geli sendiri.
“Kenapa, sih?”
“Tidak apa-apa. Hahahaha!”
“Kok tertawa?”
“Hahahahaha!”
“Aduuhhh udah, deh!”
Sukab tertawa terus di tengah jalan.
“Hahahahahahaha!”
Ratri yang jengkel tak mau menunggu Sukab yang terpingkal­pingkal. Ia meninggalkannya terpingkal-pingkal sendiri di tengah jalan. “Ratri! Tunggu!”
Sukab mengejar, tapi masih terpingkal-pingkal.
“Kamu tidak usah mengantar aku. Aku bisa pulang sendiri.”
“Aduh Ratri, jangan marah, dong. Kamu mau kukasih tahu kan?”
Gadis berkepang dua itu berhenti. Matanya yang tajam menembus malam.
“Jadi, kamu mau bilang kenapa kamu pengin jadi tentara?”
“Iya, tapi aku harus membisikkannya di telingamu.” Sukab mendekati Ratri dan membisikkan sesuatu.

Hanya Ratri yang tahu, kenapa Sukab ingin jadi tentara.

Jakarta, Jumat 20 September 1996. 17:41

Kematian Doni Osmond. Jakarta: Gramedia

1 comment:

  1. Coba tanya sama bapakku.. Bapakku juga tentara. Siapa tau alesan jadi tentara sama kaya Sukab.

    ReplyDelete