Senja semburat dengan dahsyat di kaca spion.
Sangat menyedihkan betapa di jalan tol aku harus melaju secepat kilat ke arah
yang berlawanan. Di kaca spion, tengah, kanan, maupun kiri, tiga senja dengan
seketika memberikan pemandangan langit yang semburat jingga, tentu jingga yang kemerah-merahan seperti api berkobar yang berkehendak membakar meski apalah
yang mau dibakar selain menyepuh mega-mega menjadikannya bersemu jingga
bagaikan kapas semarak yang menawan dan menyandera perasaan. Senja yang rawan,
senja yang sendu, ketika tampak dari kaca spion ketika melaju di jalan tol hanya
berarti harus kutinggalkan secepat kilat, suka tak suka, seperti kenangan yang
berkelebat tanpa kesempatan untuk kembali menjadi impian.Aku dalam mobilku
melaju ke depan dengan kecepatan tinggi, sangat tinggi, terlalu tinggi,
sehingga awan hitam yang bergulung-gulung di hadapanku tampak menyergap dan
menelanku dengan begitu cepat, begitu beda dengan awan gemawan senja di kaca
spion yang semarak keemas emasan, gemilang tiada tertahankan, yang meski dengan
pasti akan berubah menjadi malam yang kelam tampak bertahan tampak berkutat meraih
keabadian dalam kefanaan. Di dalam satu dunia yang sama, mengapa suatu hal bisa
begitu berbeda? Di belakangku senja terindah yang akan segera menghilang, di
depanku hanya awan hitam bergulung mengerikan bagai janji sepenuhnya betapa
dunia memang berpeluang mengalami bencana tak tertahankan.
Di jalan tol, aku tak bisa berbalik bahkan tak
juga bisa menoleh ke belakang. Aku hanya bisa melaju terus menerus melaju dan
memang hanya melaju selaju-lajunya kelajuan dalam kecepatan yang terlaju ketika
di hadapanku awan hitam yang bergulung-gulung itu bagaikan merendah dan bersiap
menerkam meski dalam kenyataannya memang hanya di sana saja awan hitam itu
bergulung-gulung dan terus bergulung-gulung sungguh begitu matang untuk setiap
saat menggulung.
Itulah yang membuat aku meluncur dengan perasaan
rawan. Aku melaju di jalan tol dengan kecepatan tinggi bagaikan menuju ke
sebuah dunia yang dengan pasti merupakan kegelapan sementara di kaca spion
kusaksikan tiga senja dengan tiga matahari terbenam di ujung jalan tol di balik
pegunungan yang menyemburatkan cahaya keemasan ke seantero langit seantero bumi
memantik kesenduan memantik keharuan yang menenggelamkan perasaan dalam
kedukaan yang mau tak mau harus ditahan.
Belum tentu sekali lagi dalam seumur hidupku aku
akan mendapatkan tiga senja sekaligus melalui kaca spion di tengah, kiri, dan
kanan dalam mobilku yang meluncur dan melaju meninggalkannya dengan tiga
matahari yang bagaikan lempengan besi merah membara membenam perlahan-lahan tapi
pasti meski tetap perlahan tapi meski tetap sepasti sepelan perputaran bumi. Tiga senja dengan tiga matahari membenam menyemburatkan langit
di tiga kaca spion, hanya dari kaca spion mobilku dan hanya dengan meninggalkannya
ke depan, terus menerus melaju ke depan, maka aku akan bisa melihat ketiga
senja dengan ketiga matahari itu.
Meluncur di jalan tol tanpa ujung, aku bahkan
tidak memiliki kemungkinan untuk kembali, sepanjang hari sepanjang zaman aku
menembus ruang dalam waktu yang berkelebatan. Di manakah ujung jalan tol ini?
Aku tak tahu menahu dan sungguh tiada tahu menahu hanya bisa meluncur dan menuju untuk terus menerus menuju dan melaju ke depan tanpa halangan. Dari manakah aku datang dan akan menuju ke mana? Aku tak tahu dan tak akan pernah tahu karena aku hanya bisa meluncur di jalan tol yang panjang tanpa ujung tanpa pernah tahu akan berakhir entah kapan dan di mana.
Aku tak tahu menahu dan sungguh tiada tahu menahu hanya bisa meluncur dan menuju untuk terus menerus menuju dan melaju ke depan tanpa halangan. Dari manakah aku datang dan akan menuju ke mana? Aku tak tahu dan tak akan pernah tahu karena aku hanya bisa meluncur di jalan tol yang panjang tanpa ujung tanpa pernah tahu akan berakhir entah kapan dan di mana.
*
Pada tiga kaca spion tiga matahari terbenam
perlahan di balik pegunungan. Pada punggung pegunungan itu orang-orang berjalan
sebagai sosok-sosok kehitaman dengan kepala menunduk melangkah perlahan-lahan. Sepuluh
orang, duapuluh orang, mungkin limapuluh orang, berjalan menuruti langkah kaki dengan kepala tertunduk mengikuti jalan setapak dalam
perjalanan panjang entah dari mana menuju entah ke mana dalam kekelaman senja
di atas pegunungan. Apabila mereka kemudian berjalan beriringan di punggung
pegunungan naik turun dataran dengan latar belakang lempengan matahari merah
membara maka tampaklah sosok-sosok yang berjalan dengan kepala tertunduk itu
melintas dalam perjalanannya bagai melintasi dunia. Pada kaca spion aku tak
akan pernah tahu sosok-sosok hitam yang melangkah perlahan dengan kepala itu datang
dari mana dan menuju entah ke mana. Siapalah yang akan tahu?
Segalanya terlihat di kaca spion, tetapi hidup
tidak bisa dibalik, sosok-sosok melangkah, aku meluncur, matahari terbenam,
cahayanya yang keemasan semburat membakar langit, menyala berkobar-kobar dengan
lidah api yang menjilati angkasa. Segalanya memesona di kaca spion dan segalanya tergandakan di kaca spion, tetapi aku sedang meninggalkannya dengan
kecepatan yang tidak tertampung oleh speedometer. Dunia serasa begitu tenang
dalam kecepatan terbangnya malaikat yang hening. Aku meluncur ke depan, tetapi
mataku menyaksikan senja pada tiga kaca spion…
Aku masih meluncur awan masih bergulung tetapi
langit telah semakin gelap ketika tiga senja di tiga kaca spion itu tampak
semakin kemerah-merahan. Aku masih menyaksikan ketiganya sekaligus ketika tiga matahari
merah membara masih terbenam perlahan-lahan, ketika kuperhatikan ternyata pada spion sebelah kanan orang-orang yang berjalan
tertunduk sebagai sosok-sosok hitam itu telah menghilang…
Pergi ke manakah mereka?
Ternyata beberapa orang yang berjalan paling
belakang masih tampak berjalan dengan kepala tertunduk pada pemandangan senja
di kaca spion yang tengah, yang ketika menghilang kemudian tampak pada kaca
spion yang kiri!
Pada kaca spion yang kiri kemudian kusaksikan
rombongan sosok-sosok hitam yang berjalan dengan kepala tertunduk di atas
pegunungan yang juga menghitam dalam latar belakang lempengan matahari raksasa
yang merah membara dan sedang turun perlahan-lahan. Mereka berjalan dengan pelan,
tetapi pasti, dan satu persatu menghilang keluar dari kaca spion.
Apakah mereka sebenarnya masih di sana? Sayangnya
aku tidak bisa menoleh ke belakang. Aku meluncur dengan kecepatan yang tak
terukur lagi, sebaiknya tentu aku tidak menoleh sama sekali ke belakang, meski kecepatan
yang tak terukur itu telah memberikan keheningan yang begitu
heningnya sampai terdengar berdenting.
heningnya sampai terdengar berdenting.
Namun dengan menatap ke depan, kedua mataku masih
mampu meliputi ketiga kaca spion sekaligus, tempat aku telah melihat ketiga
matahari senja sedang turun perlahan-lahan. Tiga matahari senja bagaikan tiga lempengan
raksasa yang merah membara turun perlahan-lahan ke balik pegunungan yang
punggungnya tampak naik turun panjang pendek curam landai dalam latar langit
yang kemerah-merahan.
Ternyata bahwa matahari pada kaca spion yang
kanan telah lebih dulu tenggelam, meninggalkan cahaya keemas-emasan di langit,
cahaya yang akan disebut-sebut penyair gaya lama sebagai cahaya kencana.
Pada kaca spion yang tengah matahari masih
terbenam separuh. Lempengan raksasa itu bergeletar mendesak bumi yang bagaikan
menolaknya. Langit di atasnya merah membara penuh dengan pesona. Juga penyair
gaya lama tidak akan mempunyai pilihan lain selain menyebutnya sebagai cahaya kencana.
Sementara itu, pada kaca spion sebelah kiri,
mataharinya tenggelam lebih cepat, karena sudah tinggal sepertiganya saja dan
seperti kusaksikan memang kemudian hilang terbenam meninggalkan cahaya keemas-emasan
yang juga akan disebut penyair gaya lama sebagai cahaya kencana.
Tapi aku suka gaya lama. Apa salahnya?
Aku masih meluncur di jalan tol tanpa ujung
dengan kecepatan tak terukur. Pada kaca spion di dalam mobil, kusaksikan senja,
dengan matahari merah membara yang sedang terbenam perlahan-lahan, yang cahayanya
semburat menyapu langit menjadi keemas-emasan-memang tiada pilihan lain bagi
seorang penyair gaya lama, selain menyebut cahaya yang semburat di langit itu
sebagai cahaya kencana…
Pondok Aren,
Kamis 8 Maret 2007. 18:25
No comments:
Post a Comment