Pages

Sunday, June 24, 2012

Senja di Kaca Spion


    Senja semburat dengan dahsyat di kaca spion. Sangat menyedihkan betapa di jalan tol aku harus melaju secepat kilat ke arah yang berlawanan. Di kaca spion, tengah, kanan, maupun kiri, tiga senja dengan seketika memberikan pemandangan langit yang semburat jingga, tentu jingga yang kemerah-merahan seperti api berkobar yang berkehendak membakar meski apalah yang mau dibakar selain menyepuh mega-mega menjadikannya bersemu jingga bagaikan kapas semarak yang menawan dan menyandera perasaan. Senja yang rawan, senja yang sendu, ketika tampak dari kaca spion ketika melaju di jalan tol hanya berarti harus kutinggalkan secepat kilat, suka tak suka, seperti kenangan yang berkelebat tanpa kesempatan untuk kembali menjadi impian.Aku dalam mobilku melaju ke depan dengan kecepatan tinggi, sangat tinggi, terlalu tinggi, sehingga awan hitam yang bergulung-gulung di hadapanku tampak menyergap dan menelanku dengan begitu cepat, begitu beda dengan awan gemawan senja di kaca spion yang semarak keemas emasan, gemilang tiada tertahankan, yang meski dengan pasti akan berubah menjadi malam yang kelam tampak bertahan tampak berkutat meraih keabadian dalam kefanaan. Di dalam satu dunia yang sama, mengapa suatu hal bisa begitu berbeda? Di belakangku senja terindah yang akan segera menghilang, di depanku hanya awan hitam bergulung mengerikan bagai janji sepenuhnya betapa dunia memang berpeluang mengalami bencana tak tertahankan.

    Di jalan tol, aku tak bisa berbalik bahkan tak juga bisa menoleh ke belakang. Aku hanya bisa melaju terus menerus melaju dan memang hanya melaju selaju-lajunya kelajuan dalam kecepatan yang terlaju ketika di hadapanku awan hitam yang bergulung-gulung itu bagaikan merendah dan bersiap menerkam meski dalam kenyataannya memang hanya di sana saja awan hitam itu bergulung-gulung dan terus bergulung-gulung sungguh begitu matang untuk setiap saat menggulung.

    Itulah yang membuat aku meluncur dengan perasaan rawan. Aku melaju di jalan tol dengan kecepatan tinggi bagaikan menuju ke sebuah dunia yang dengan pasti merupakan kegelapan sementara di kaca spion kusaksikan tiga senja dengan tiga matahari terbenam di ujung jalan tol di balik pegunungan yang menyemburatkan cahaya keemasan ke seantero langit seantero bumi memantik kesenduan memantik keharuan yang menenggelamkan perasaan dalam kedukaan yang mau tak mau harus ditahan.

   Belum tentu sekali lagi dalam seumur hidupku aku akan mendapatkan tiga senja sekaligus melalui kaca spion di tengah, kiri, dan kanan dalam mobilku yang meluncur dan melaju meninggalkannya dengan tiga matahari yang bagaikan lempengan besi merah membara membenam perlahan-lahan tapi pasti meski tetap perlahan tapi meski tetap sepasti sepelan perputaran bumi. Tiga senja dengan tiga matahari membenam menyemburatkan langit di tiga kaca spion, hanya dari kaca spion mobilku dan hanya dengan meninggalkannya ke depan, terus menerus melaju ke depan, maka aku akan bisa melihat ketiga senja dengan ketiga matahari itu.

   Meluncur di jalan tol tanpa ujung, aku bahkan tidak memiliki kemungkinan untuk kembali, sepanjang hari sepanjang zaman aku menembus ruang dalam waktu yang berkelebatan. Di manakah ujung jalan tol ini?
Aku tak tahu menahu dan sungguh tiada tahu menahu hanya bisa meluncur dan menuju untuk terus menerus menuju dan melaju ke depan tanpa halangan. Dari manakah aku datang dan akan menuju ke mana? Aku tak tahu dan tak akan pernah tahu karena aku hanya bisa meluncur di jalan tol yang panjang tanpa ujung tanpa pernah tahu akan berakhir entah kapan dan di mana.

*

   Pada tiga kaca spion tiga matahari terbenam perlahan di balik pegunungan. Pada punggung pegunungan itu orang-orang berjalan sebagai sosok-sosok kehitaman dengan kepala menunduk melangkah perlahan-lahan. Sepuluh orang, duapuluh orang, mungkin limapuluh orang, berjalan menuruti langkah kaki dengan kepala tertunduk mengikuti jalan setapak dalam perjalanan panjang entah dari mana menuju entah ke mana dalam kekelaman senja di atas pegunungan. Apabila mereka kemudian berjalan beriringan di punggung pegunungan naik turun dataran dengan latar belakang lempengan matahari merah membara maka tampaklah sosok-sosok yang berjalan dengan kepala tertunduk itu melintas dalam perjalanannya bagai melintasi dunia. Pada kaca spion aku tak akan pernah tahu sosok-sosok hitam yang melangkah perlahan dengan kepala itu datang dari mana dan menuju entah ke mana. Siapalah yang akan tahu?

   Segalanya terlihat di kaca spion, tetapi hidup tidak bisa dibalik, sosok-sosok melangkah, aku meluncur, matahari terbenam, cahayanya yang keemasan semburat membakar langit, menyala berkobar-kobar dengan lidah api yang menjilati angkasa. Segalanya memesona di kaca spion dan segalanya tergandakan di kaca spion, tetapi aku sedang meninggalkannya dengan kecepatan yang tidak tertampung oleh speedometer. Dunia serasa begitu tenang dalam kecepatan terbangnya malaikat yang hening. Aku meluncur ke depan, tetapi mataku menyaksikan senja pada tiga kaca spion…

   Aku masih meluncur awan masih bergulung tetapi langit telah semakin gelap ketika tiga senja di tiga kaca spion itu tampak semakin kemerah-merahan. Aku masih menyaksikan ketiganya sekaligus ketika tiga matahari merah membara masih terbenam perlahan-lahan, ketika kuperhatikan ternyata pada spion sebelah kanan orang-orang yang berjalan tertunduk sebagai sosok-sosok hitam itu telah menghilang…

Pergi ke manakah mereka?

   Ternyata beberapa orang yang berjalan paling belakang masih tampak berjalan dengan kepala tertunduk pada pemandangan senja di kaca spion yang tengah, yang ketika menghilang kemudian tampak pada kaca spion yang kiri!

   Pada kaca spion yang kiri kemudian kusaksikan rombongan sosok-sosok hitam yang berjalan dengan kepala tertunduk di atas pegunungan yang juga menghitam dalam latar belakang lempengan matahari raksasa yang merah membara dan sedang turun perlahan-lahan. Mereka berjalan dengan pelan, tetapi pasti, dan satu persatu menghilang keluar dari kaca spion.

   Apakah mereka sebenarnya masih di sana? Sayangnya aku tidak bisa menoleh ke belakang. Aku meluncur dengan kecepatan yang tak terukur lagi, sebaiknya tentu aku tidak menoleh sama sekali ke belakang, meski kecepatan yang tak terukur itu telah memberikan keheningan yang begitu
heningnya sampai terdengar berdenting.

   Namun dengan menatap ke depan, kedua mataku masih mampu meliputi ketiga kaca spion sekaligus, tempat aku telah melihat ketiga matahari senja sedang turun perlahan-lahan. Tiga matahari senja bagaikan tiga lempengan raksasa yang merah membara turun perlahan-lahan ke balik pegunungan yang punggungnya tampak naik turun panjang pendek curam landai dalam latar langit yang kemerah-merahan.

   Ternyata bahwa matahari pada kaca spion yang kanan telah lebih dulu tenggelam, meninggalkan cahaya keemas-emasan di langit, cahaya yang akan disebut-sebut penyair gaya lama sebagai cahaya kencana.

   Pada kaca spion yang tengah matahari masih terbenam separuh. Lempengan raksasa itu bergeletar mendesak bumi yang bagaikan menolaknya. Langit di atasnya merah membara penuh dengan pesona. Juga penyair gaya lama tidak akan mempunyai pilihan lain selain menyebutnya sebagai cahaya kencana.

   Sementara itu, pada kaca spion sebelah kiri, mataharinya tenggelam lebih cepat, karena sudah tinggal sepertiganya saja dan seperti kusaksikan memang kemudian hilang terbenam meninggalkan cahaya keemas-emasan yang juga akan disebut penyair gaya lama sebagai cahaya kencana.

Tapi aku suka gaya lama. Apa salahnya?

   Aku masih meluncur di jalan tol tanpa ujung dengan kecepatan tak terukur. Pada kaca spion di dalam mobil, kusaksikan senja, dengan matahari merah membara yang sedang terbenam perlahan-lahan, yang cahayanya semburat menyapu langit menjadi keemas-emasan-memang tiada pilihan lain bagi seorang penyair gaya lama, selain menyebut cahaya yang semburat di langit itu sebagai cahaya kencana…


Pondok Aren,
Kamis 8 Maret 2007. 18:25

No comments:

Post a Comment