Pages

Sunday, May 27, 2012

Sukab & Sepatu

“Ceritakanlah padaku tentang kesetiaan,”kata Upik kepada tukang cerita itu. Maka, tukang cerita itu pun bercerita tentang sepatu.
***
Sukab masih tercenung memandang sepatunya. Ia seperti memikirkan sesuatu. Lana seolah bisa membaca pikirannya.
“Dijahit apa, solnya diganti, lantas disemir lagi.”
Sukab menggelengkan kepala.
“Kamu rupanya memang tidak pernah mencoba berpikir untuk membeli yang baru.”
“Kenapa harus begitu?”
“Apa salahnya dengan membeli sepatu baru? Kita tidak hidup di zaman Orla, ketika uang seribu bisa jadi satu rupiah. Sekarang ini, sepatu lebih dari satu bukan kemewahan. Kalau ada yang bagus dan kita kepingin, ya beli saja, tidak usah menunggu sepatu yang lama sampai rusak hancur tanpa sisa. Lagipula kita kan tidak miskin-miskin amat?”
“Eh! Nerocos! Kok tumben? Ini bukan soal politik. Ini bukan soal ekonomi.
Ada apa dengan kamu? Sudah tujuh belas tahun kamu pakai sepatu itu. Setiap kali mengkap dijahit, kalau sol menipis diganti, warnanya kusam tinggal disemir. Kenapa tiba-tiba berubah?”
Sukab menghela napas.
“Aku sudah bosan.”
Tapi ucapan Sukab tidak meyakinkan.
“Kukira tidak. Kamu bukan pembosan. Sebetulnya kamu orang yang setia,” ujar Lana sambil berlalu, “sudah, berangkat sana. Kalau masih ada kamu, aku tidak bisa menyapu.”
Sukab mengenakan sepatunya. Memang sudah butut, tapi harus diakuinya, memang enak dipakai.
Dalam perjalanan, Sukab berpikir tentang sepatu, dan kesetiaan.
“Benarkah sebetulnya aku orang yang setia?” Sukab bertanya kepada dirinya sendiri.

Sukab Ingin Jadi Tentara

Begitulah kejadiannya. Sukab, remaja tingting tujuh belas tahun, tiba-tiba menyatakan ingin jadi tentara.

Meja makan mendadak jadi senyap. Sukab sebentar lagi lulus SMU. Ia seorang pelajar teladan yang hebat.Jago dalam matematika, jago dalam kesenian, jawara pula dalam olahraga. Busyet. Tawaran beasiswa datang dari berbagai perguruan tinggi bergengsi, bahkan ada pula yang dari luar negeri. Astaga, sudah sejak kelas 1 tawaran semacam itu datang. Karena Sukab memang top.
Main band bisa, lomba ilmiah remaja pun jadi juara–ditantang berkelahi, malah preman pun dihajarnya. Apa boleh buat. Di dunia ini memang ada orang-orang serba bisa. Dikaruniai bakat seabrek, cakep dan ganteng, cuma namanya saja yang biasa. Sukab.
Dengan otak, prestasi, dan tingkah laku seperti itu, Sukab menjadi harapan keluarga.

“Dia nanti bisa jadi MBA.”
“Memangnya mengapa jadi MBA?”
“Banyak uangnya.”
“Ah, banyak MBA tidak kaya-kaya amat, mereka cuma bisa jadi pegawai, bukan pemilik.”
“Yah, pokoknya jurusan uang lah!”
“Apa harus jurusan uang?”
“Habis apa?”

Keluarga Sukab memang sudah lama bermimpi bisa melejit dari kubangan kemiskinan. Untunglah, miskin-miskin begitu, mereka bukan dari jenis yang suka main judi, dan mengharapkan uang tiba seketika. Mereka berusaha secara wajar. Kerja yang rajin. Menabung. Belajar keras. Tapi tetap bermimpi menjadi kaya, kalau bisa yang raya. Harapan mereka terletak dalam diri Sukab.

Sukab pasti lulus dengan cepat, pikir Ayah. Segera diterima di perusahaan besar milik salah satu konglomerat, dan pokoknya cepat kaya. Apa itu kaya? Entahlah. Pokoknya yang seperti orang-orang lain yang kaya.

“Apakah engkau sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang, wahai Sukab anakku?”
“Sudah Ayah, aku sudah mantap, aku ingin jadi tentara.”
“Tentara? Kenapa tentara?”
“Karena aku ingin membela bangsa dan negara.”
“Kalau hanya ingin membela bangsa dan negara, kamu tidak harus menjadi tentara wahai Sukab anakku, banyak jalan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa.
Bukan hanya tentara yang bisa mengabdi, bukan cuma tentara yang bisa berkorban.”
“Aku tahu Ayah, tapi aku ingin jadi tentara.”
“Kenapa harus tentara?”
“Tidak harus Ayah, tapi aku maunya jadi tentara.”

Sepotong Senja Untuk Pacarku

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Monday, May 21, 2012

Sukab

Kata orang kamu yang namanya Zino Gumiro Azi Darmo? Kata orang kamu yang bikin antologi Dilarang Bersiul Di Kamar Mandi? Kata orang Protagonist semua cerita itu bernama Sukab? Kata orang di semua ceritera itu kamu ngenye’ Sukab?
Seberapa pentingkah asal-usul Sukab?
Tanpa membawa-bawa teori, saya menjadi geli, karena tokoh fiktif ini rupa-rupanya lebih eksis ketimbang banyak manusia beneran, yang berdarah dan berdaging, tapi kehadiranya tidak pernah eksistensial, sehingga kemungkinan besar tidak pernah diperbincangkan oleh siapapun dalam konteks apapun seumur hidupnya. Padahal, dalam fiksi pun sukab bukanlah nama seorang tokoh. Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekedar karena saya malas “mengarang”, menyesuai-nyesuaikan nama dengan karakter tokoh supaya meyakinkan, dan lain sebagainya. Setiap kali saya kesulitan mencari nama, saya pasang saja nama Sukab. “Toh sama-sama fiktif ini,” pikir saya, “kenapa harus susah-susah cari nama?”
Tentu saja permainan antara fakta dan fiksi inimerupakan pekerjaan rumah yang menarik dalam perbincangan makna, namun tentu bukan itu yang ingin saya bicarakan disini. Saya hanya ingin membagi apa yang saya ketahui tentang nama Sukab ini, dengan harapan tidak berpengaruh terlalu besar kepada cerita-cerita saya(yang saya andaikan sudah terlanjur dibaca sebelum catatan ini), apalagi merusaknya.