“Ceritakanlah
padaku tentang kesetiaan,”kata Upik kepada tukang cerita itu. Maka, tukang
cerita itu pun bercerita tentang sepatu.
***
Sukab
masih tercenung memandang sepatunya. Ia seperti memikirkan sesuatu. Lana seolah
bisa membaca pikirannya.
“Dijahit apa, solnya diganti, lantas
disemir lagi.”
Sukab menggelengkan kepala.
“Kamu rupanya memang tidak pernah
mencoba berpikir untuk membeli yang baru.”
“Kenapa harus begitu?”
“Apa salahnya dengan membeli sepatu
baru? Kita tidak hidup di zaman Orla, ketika uang seribu bisa jadi satu rupiah.
Sekarang ini, sepatu lebih dari satu bukan kemewahan. Kalau ada yang bagus dan
kita kepingin, ya beli saja, tidak usah menunggu sepatu yang lama sampai rusak
hancur tanpa sisa. Lagipula kita kan tidak
miskin-miskin amat?”
“Eh!
Nerocos! Kok tumben? Ini bukan soal politik. Ini bukan soal ekonomi.
Ada
apa dengan kamu? Sudah tujuh belas tahun kamu pakai sepatu itu. Setiap kali
mengkap dijahit, kalau sol menipis diganti, warnanya kusam tinggal disemir.
Kenapa tiba-tiba berubah?”
Sukab
menghela napas.
“Aku
sudah bosan.”
Tapi
ucapan Sukab tidak meyakinkan.
“Kukira
tidak. Kamu bukan pembosan. Sebetulnya kamu orang yang setia,” ujar Lana sambil
berlalu, “sudah, berangkat sana. Kalau masih ada kamu, aku tidak bisa menyapu.”
Sukab
mengenakan sepatunya. Memang sudah butut, tapi harus diakuinya, memang enak
dipakai.
Dalam
perjalanan, Sukab berpikir tentang sepatu, dan kesetiaan.
***
“Lho,
masih dipakai?”
Sukab
tersenyum masam, mengajukan sepatunya.
“Masih
enak dipakai,” katanya.
Dhuar!
Maya membanting pintu.
“Kamu
jangan pernah masih rumah ini selama sepatu itu belum diganti,” teriak Maya
dari dalam, “sudah berapa kali aku minta sepatu jelek itu dibuang? Aku jijik
sama kamu. Pergi!”
Sukab
menyenderkan keningnya di pintu. Terpandang lagi sepatunya yang butut.
“Mampus,”batinnya, “mampus.”
***
Sebelum masuk kantor, Sukab
meninggalkan sepatunya di tukang sol sepatu di seberang jalan. Ia berjalan sepanjang koridor sambil menenteng kaos kaki.
Orang-orang
melihatnya berjalan tanpa sepatu. Gadis-gadis tersenyum. Pakai dasi, tapi kaki cakar ayam!
Tapi
Sukab tampaknya tidak peduli. Ia bekerja sepanjang hari tanpa sepatu.
Menjelang
senja, seseorang mengetuk pintu ruangannya.
“Pak,
ada tamu.”
Ternyata
Maya, datang membawa sepatu baru.
Sukab
terharu. Maya memang betul-betul memperhatikannya. Sepatu itu ukurannya pas sekali.
Mengkilat. Dan telah dicoba, enak juga dipakainya. Sepatu model baru. Gaya
mutakhir. Pasti mahal. Tapi, Sukab merasa dirinya menjadi orang lain mengenakan
sepatu itu.
“Aku juga merasa terasing dengan diriku
sendiri,” ujar Sukab.
“Kamu ini bagaimana sih! Ini Cuma soal
sepatu, bukan ideologi,” kata Maya dengan tegas, “mulai sekarang kamu pakai sepatu
itu. Mana yang lama?”
Sukab mengangkat bahu.
Sukab mengangkat bahu.
“Buang!” Maya menegaskan.
Setelah Maya pergi, Sukab memandang
sepatu yang baru sepuluh menit dipakainya. Memang
hebat, tapi ia merasa dirinya terlalu sederhana untuk sepatu itu.
“Nanti lama-lama juga terbiasa,”
pikirnya.
Namun
ia teringat sepatunya yang lama.
***
Sebelum
pulang ke rumah, Sukab mampir ke tempat Muntu. Ia menitipkan sepatunya yang
baru, lantas mengenakannya kembali sepatu yang lama.
Muntu
menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu
tidak capai hidup seperti itu?”
Sukab
ikut menggeleng-gelengkan kepala.
“Ruwet,”
bisiknya perlahan, “ruwet.”
***
“Lihat,
apa bedanya dengan sepatu baru?” Lana tersenyum puas, “tidak ada seorang pun
yang akan mengira itu sepatu yang sudah kamu pakai selama tujuh belas tahun.
Dunia ini pun sudah kuno Sukab, tapi manusia selalu berhasil memperbaruinya
kan? Jangan suka membuang barang lama. Habis manis sepah dibuang. Tidak baik
begitu.”
Lana
tahu. Diam-diam Sukab menggertakkan geraham.
***
Malam pun lengkap. Semua orang
tertidur. Itulah saat benda-benda mati berbicara.
“Kamu tahu apa yang dialami Sukab?”
tanya Sepatu Lama Kiri.
“Entahlah. Setahuku dia sekarang lebih
sering gantu kaus kaki,” jawab Sepatu Lama Kanan.
“Nah, itu masalahnya. Kaus kaki itu
semuanya dari Maya.”
“Apa
hubungannya dengan kita?”
“Maya
itulah yang menggantikan kita dengan sepatu baru. Padahal sudah tujuh belas
tahun kita bekerja penuh pengabdian, tanpa Sukab sendiri keberatan. Gara-gara Maya
itulah, Sukab menukar sepatu di rumah Muntu.
Jadi, kalau kita dulu selalu ikut ke
mana pun Sukab pergi, ke luar kota, ke luar negeri, ke ujung dunia. Sekarang
kita cuma dipakai sampai rumah Muntu. Apa kamu tidak sakit hati?”
“Tapi, kita bisa berbuat apa? Sukab
sendiri maunya begitu. Apa yang bisa diharap dari orang yang tidak setia?”
Rumah itu gelap. Semua lampu mati. Hanya lampu neon di luar byar-pet setengah hidup setengah
mati.
Sepatu Lama Kiri bergeser mendekati
Sepatu Lama Kanan.
“Apakah
kamu akan tetap setia kepadaku?” bisiknya.
Sepatu
Lama Kanan mengangguk-angguk.
Tiba-tiba
Sepatu Lama Kiri menjerit.
“Aaahhh!
Ada tikus masuk!”
***
Di
rumah Muntu yang gelap gulita, Sepatu Baru Kiri dan Sepatu Baru Kanan
bercakap-cakap.
“Baru bertugas sebentar, sudah
ditaruh.”
“Iya, rupanya kita ini cuma bertugas
separo, dari rumah Muntu ke kantor, sepulang kantor, kita dicopot dulu. Kenapa sih?”
“Manusia
memang penuh teka-teki. Tidak seperti sepatu.”
“Iya
ya, tapi jadi sepatu juga tida gampang.”
“Misalnya?”
“Sepatu
bukan sepatu kalau tidak sepasang.”
“Apa
manusia bukan manusia kalau tidak berpasangan?”
“Mana aku tahu? Aku cuma sepatu. Masih
baru lagi.”
“Masalah manusia adalah mereka tidak
pernah tahu apakah pasangannya memang akan cocok.”
“Kalau sepatu jelas ya?”
“Jelas, ada ukurannya.”
Dua ekor kecoa merayap di dekat sepatu
itu.
“Majikan kita yang baru ini rupanya
tidak setia pada sepatunya. Masak cara memakai sepatu seperti itu, separo di
sana separo di sini.”
“Jangan asal omong, apa kamu juga bisa
setia padaku?”
Kedua sepatu baru itu tali-talinya bergerak,
berpelukan.
***
Rembulan masih terang. Lawa-lawa
beterbangan.
Dalam mimpinya, Sukab berpikir tentang
kesetiaan. Ya, aku sebetulnya orang yang setia, pikirnya. Masalahnya, kepada
siapakah aku harus setia? Apakah aku harus tetap memakai Sepatu Lama? Apakah
aku harus tetap memakai Sepatu Baru? Apakah aku harus memakai Sepatu Lama Kiri
dan Sepatu Baru Kanan? Tapi bagaimana nanti kata orang? Lagi pula apakah
sepatu-sepatu itu mau dipasangkan begitu? Bagaimana kalau tidak usah bersepatu
saja?
Sepanjang malam Sukab tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sukab merasa selama ini ia memang tidak bisa setia kepada siapa pun ia hanya setia kepada hidup.
Sepanjang malam Sukab tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sukab merasa selama ini ia memang tidak bisa setia kepada siapa pun ia hanya setia kepada hidup.
Cahaya
fajar menerobos jalusi.
Begitu
bangun, Sukab sudah mengambil keputusan.
***
“Keputusan
apa?” tanya upik kepada tukang cerita itu.
“Lho,
kamu kan sudah tahu,” jawab tukang cerita itu, yang segera berkemas siap
meneruskan perjalanan.
“Selamat
tinggal, Upik,” katanya.
Jakarta,
9 Juni 1995
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Diterbitkan: harian Kompas, 6 Agustus 1995. Dimuat dalam buku Dunia Sukab, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
No comments:
Post a Comment